JAKARTA - Pusat perbelanjaan atau mal diselimuti fenomena rombongan jarang beli (rojali) dan rombongan hanya nanya (rohana). Rojali dan rohana berkumpul di mal tapi tidak melakukan transaksi.
Menurut Menteri Perdagangan Budi Santoso, hal tersebut sebetulnya umum saja dilakukan ketika masyarakat hendak berbelanja. Biasanya, hal itu dilakukan masyarakat untuk melakukan survei harga terlebih dahulu untuk dibandingkan dengan toko lain.
"Kan sebelumnya juga sudah terjadi (fenomena rojali). Namanya orang orang mau belanja kan biasa di cek barangnya dulu, ingin lihat barangnya bagus tidak, harganya seperti apa, jangan sampai nanti dapat yang palsu, kan gitu," ujarnya saat ditemui di Jakarta Timur, Rabu (23/7/2025).
Fenomena rojali dan rohana ini juga ditanggapi oleh Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Berikut ini Okezone rangkum mengenai fenomena rojali dan rohana di mal, Jakarta, Senin (28/7/2025).
Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengakui bahwa jumlah pengunjung ke mal memang mengalami peningkatan, namun transaksi tidak meningkat.
Menurutnya, tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena ini terjadi akibat dari lesunya daya beli masyarakat. Jumlah kunjungan masyarakat ke mal meningkat sekitar 10% pada tahun 2024 jika dibandingkan tahun sebelumnya.
"Memang ini terjadi lebih karena faktor daya beli, khususnya di kelas menengah bawah. Kan daya belinya berkurang, uang yang dipegang semakin sedikit, tapi mereka tetap datang ke pusat perbelanjaan," tambahnya.
Menurut Alphonzus, tren belanja masyarakat juga telah mengalami perubahan yang diakibatkan oleh tekanan ekonomi. Lebih selektif dalam membeli barang, bahkan tidak melakukan pembelian jika memang tidak ada kebutuhan yang mendesak.
"Memang yang berubah itu kan pola belanjanya, mereka jadi lebih selektif berbelanja. Kalau tidak perlu ya tidak. Kalaupun beli, hanya barang atau produk yang harga unitnya itu murah," tambahnya.
Meski demikian, Alphonsus menilai fenomena rojali atau rohana di mal merupakan hal yang umum dilakukan. Mengingat fungsi pusat perbelanjaan seperti mall sendiri tidak hanya sebagai tempat transaksi, namun juga rekreasi atau hiburan.
"Saya kira itu umum atau hal yang wajar, ada interaksi, tawar menawar, dan lain-lain. Juga kan fenomena rojali ini juga kan karena fungsi daripada pusat perbelanjaan, bukan sekedar belanja, tapi ada edukasi, entertainment, hiburan dan sebagainya," kata Alphonzus.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono memberikan pandangannya terkait relevansi fenomena rojali dan rohana dengan data kemiskinan yang dirilis BPS.
"Dengan rojali atau rombongan jarang beli yang akhir-akhir ini kan di berita media cukup diangkat ya teman-teman media semuanya ke pusat perbelanjaan namun tidak membeli apapun imbas pembelian daya belinya," ujar Ateng dalam konferensi pers, Jumat (25/7/2025).
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2025, Ateng mengungkapkan bahwa kelompok masyarakat kelas atas memang menunjukkan perilaku menahan konsumsi.
"Nah berdasarkan data Susenas 2025 ya kelompok atas memang agak menahan konsumsinya. Ini kita amati dari Susenas ya," katanya.
Namun, Ateng menegaskan bahwa fenomena ini tidak serta-merta berpengaruh pada angka kemiskinan secara keseluruhan, karena kelompok yang menahan konsumsi adalah dari segmen atas.
"Namun ini tentu tidak serta-merta berpengaruh ke angka kemiskinan karena kan itu kelompok atas saja. Fenomena rojali memang belum tentu ya teman-teman mencerminkan tentang kemiskinan," tegasnya.
Meskipun demikian, Ateng mengakui bahwa fenomena rojali relevan sebagai gejala sosial dan bisa menjadi indikasi tekanan ekonomi, khususnya bagi kelas yang rentan.
"Tetapi tentunya ini relevan juga sebagai gejala sosial dan juga tadi teman-teman media silakan gali ya bisa jadi ada untuk refresh atau tekanan ekonomi terutama kelas yang rentan sehingga mereka teman-teman semuanya akan Rojali tadi di mal dan sebagainya," tambahnya.
Ateng menekankan bahwa fenomena rojali ini merupakan sinyal penting bagi para pembuat kebijakan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya perlu fokus pada upaya menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga harus memperhatikan ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga pada kelas menengah bawah.
"Rojali adalah sinyal penting bagi membuat kebijakan untuk tidak hanya fokus ya menurunkan angka kemiskinan. Tetapi juga memperhatikan bagaimana untuk ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga pada kelas menengah bawah," katanya.
Dia mengajak untuk mengamati lebih lanjut apakah fenomena rojali ini terjadi pada kelas atas, menengah, rentan, atau bahkan di kelas miskin. BPS belum melakukan survei khusus mengenai fenomena rojali ini, karena survei mereka masih berbasis pada sampel rumah tangga di Susenas.
BPS mengumumkan tingkat kemiskinan Indonesia dari segi persentase jumlah penduduk miskin terhadap total populasi dari laporan pada Maret 2025.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono mengatakan, persentase penduduk miskin pada Maret 2025 turun 8,74 persen menjadi 23,85 juta jiwa.
"Sebagai bahan perbandingan pada September 2022 dibandingkan Maret 2022, kemiskinan peningkat 0,03 persen kemudian sejak Maret 2023 sampai Maret 2025 kemiskinan berangsur mengalami penurunan," kata Ateng.
Pada Maret 2025 tingkat kemiskinan perkotaan sebesar 6,73 persen sedangkan kemiskinan pedesaan sebesar 11,03 persen. Jadi desa lebih banyak yang miskinnya jika dibandingkan dengan perkotaan terhadap tadi total penduduk masing-masing wilayahnya.
"Nah persentase kemiskinan di pedesaan pada Maret 2025 yang tadi 11,03 persen mengalami penurunan 0,31 persen poin jika dibandingkan dengan September tahun 2024," ungkap Ateng.
Walaupun demikian BPS mencermati persentase penduduk miskin di perkotaan pada Maret 2025 yaitu sebesar 6,73 persen mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan kondisi September 2024. Penduduk miskin di kota meningkat sekitar 0,07 persen poin Maret 2025 dibandingkan dengan September 2024 yang lalu.
"Nah selain tadi kemiskinan baik kota dan desa juga salah satu indikator yang penting diperhatikan adalah indeks kedalaman dan indeks keparahan," katanya.
(Dani Jumadil Akhir)