Harga Beras Diprediksi Terus Naik di 2025, Ini Biang Keroknya

Tangguh Yudha, Jurnalis
Selasa 26 Agustus 2025 17:35 WIB
Harga Beras Diprediksi Terus Naik di 2025, Ini Biang Keroknya (Foto: Okezone)
Share :

JAKARTA - Harga beras diperkirakan akan terus naik sepanjang tahun 2025. Penyebab utama dari tren ini adalah karena sebenarnya produksi beras konsumsi dalam negeri pada tahun 2025 menjadi yang terendah selama tiga tahun terakhir. Produksi beras konsumsi pada tahun ini diperkirakan hanya mencapai 33,9 juta ton.

Sebagai perbandingan, pada tahun 2023, ketersediaan beras mencapai 34,14 juta ton, yang terdiri dari produksi 31,1 juta ton dan impor 3,06 juta ton. Sementara pada tahun 2024, meskipun produksi menurun menjadi 30,62 juta ton, tambahan impor sebesar 4,5 juta ton membuat ketersediaan meningkat menjadi 35,12 juta ton.

"Kalau perhitungan saya betul, maka ketersediaan beras untuk konsumsi tahun ini terendah selama 3 tahun terakhir menjadi hanya 33,9 juta ton. Dari mana angkanya? Dari produksi tahun ini 31,9 juta ton ditambah sisa tahun lalu 1,7 juta ton, ditambah impor yang dilakukan swasta biasanya 300 ribu - 500 ribu ton. Sehingga ketersediaan beras untuk konsumsi 33,9," kata pakar pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa dalam diskusi publik bersama Ombudsman RI, Selasa (26/8/2025).

"Sehingga kalau perhitungan saya betul maka pasti akan ada masalah terkait harga. Pertanyaannya, dari 33,9 juta ton tersebut ada yang tersimpan di Bulog sehingga ketersediaan beras yang ada di pasar menurun. Sehingga tetap saja di tahun 2025 kita akan bermasalah dengan harga," lanjutnya.

Dwi menekankan pentingnya reformasi tata kelola pangan nasional dengan mengedepankan empat prinsip utama atau golden rule. Pertama, kebijakan pangan harus berbasis pada data dan fakta. Dia menilai jika kebijakan tidak berbasis fakta, maka hasilnya akan berantakan dan banyak pihak akan dirugikan.

 

Kedua, menurutnya, pemerintah harus hati-hati dalam menafsirkan sinyal harga. Kenaikan harga yang terjadi seharusnya tidak serta-merta menjadi alasan untuk menyalahkan sistem distribusi atau pelaku pasar. Prinsip ketiga, Dwi menyoroti perlunya menghentikan intervensi terhadap lembaga penyimpanan cadangan pangan seperti Bulog.

"Kalau di luar negeri, lembaga yang menyimpan cadangan pangan pemerintah itu seharusnya bebas intervensi dari pihak manapun. Jadi dalam hal ini Bulog di Indonesia, harus bebas intervensi. Bulog bisa menyelenggarakan in - out dengan baik, sekarang Bulog mengahadapi persoalan besar dalam stok. Karena terlalu banyak pihak yang mencampuri urusan Bulog," ujarnya.

Terakhir, dia mengingatkan bahwa pemerintah seharusnya hanya menguasai sekitar 10% dari total produksi beras nasional. Menurutnya, saat ini pemerintah memaksakan untuk menyerap lebih banyak, bahkan sampai melampaui jumlah tersebut. Dia juga menekankan pentingnya kerja sama dengan sektor swasta menjadi krusial dalam menjaga stabilitas pasokan dan harga.

"Pemerintah itu hanya menguasai produksi maksimum 10%. Kalau saat ini dipaksakan menyerap 3 juta ton produksi kan lebih dari 10%, sehingga 90 persen lebih barang ada di luar pemerintah. Pada situasi seperti itu dalam golden rule tata kelola pangan maka menjadi suatu kewajiban harmonisasi antara pemerintah dan swasta harus diluruskan, saling curiga dan konflik antara pemerintah dan swasta harus betul-betul dikurangi dalam kondisi seperti sekarang ini. Supaya tata kelola pangan ini menjadi membaik," pungkasnya.

(Dani Jumadil Akhir)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Finance lainnya