Dalam hitungan hari,mulai 1 Januari 2010, ASEAN China FTA (ACFTA) akan resmi diberlakukan. Berbeda dengan China dan beberapa negara ASEAN lain seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand yang tampaknya bergairah, Indonesia justru ketar-ketir menyambut pemberlakuan ACFTA. Ada kesan Indonesia sama sekali belum siap menghadapi ACFTA.Kenapa hal ini terjadi? Dilematis
Ketika ACFTA pertama kali ditandatangani Megawati Soekarnoputri di Bandar Seri Begawan, Brunei, pada 6 November 2001, sikap optimistis menyeruak di kalangan pemerintah yang berkuasa. Saat itu dikatakan oleh pemerintah bahwa Indonesia berpeluang mengambil beberapa manfaat dari ACFTA.
Pertama, penurunan dan penghapusan tarif serta hambatan nontarif di China membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan volume dan nilai perdagangan ke negara yang penduduknya terbesar dan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia.
Kedua, penciptaan rezim investasi yang kompetitif dan terbuka membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi dari China. Ketiga, peningkatan kerja sama ekonomi dalam lingkup yang lebih luas membantu Indonesia melakukan peningkatan capacity building, technology transfer,dan managerial capability.
Sayangnya sikap optimistis itu tidak dibarengi upaya nyata sebagai persiapan beradaptasi terhadap tatanan perdagangan dan investasi regional yang akan berubah seiring dengan berlakunya ACFTA.
Ada kesan pemerintah (baik di bawah pimpinan Megawati atau SBY) memandang manfaat ACFTA sebagai sesuatu yang taken for granted, tidak perlu persiapan yang matang dan secara otomatis akan diperoleh. Akibatnya, pemerintah terlena mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan daya saing yang sebenarnya merupakan prasyarat dasar untuk mendapatkan manfaat optimal ACFTA. Suara miring yang mengatakan bahwa ACFTA bersifat kontraproduktif terhadap perekonomian Indonesia justru muncul ketika kita berada pada posisi point of no return.
Misalnya, sekitar 16 sektor usaha seperti tekstil, baja, ban, mebel, pengolahan kakao,industri alat kesehatan, kosmetik, aluminium, elektronika, petrokimia hulu,kaca lembaran,sepatu, mesin perkakas,dan kendaraan bermotor menyatakan belum siap memasuki ACFTA. Beberapa asosiasi bahkan secara tegas mendesak pemerintah menunda dan membatalkan pemberlakuan ACFTA. Pemerintah berada pada posisi yang sangat dilematis untuk merespons permasalahan ini. Di satu sisi, pemberlakuan ACFTA tepat waktu akan membuat beberapa sektor tidak mampu bersaing dengan produk China.
Ini akan berdampak secara negatif terhadap performa dan kapasitas produksi sektor-sektor itu yang kemudian akan mendorong munculnya PHK dan pengangguran. Simulasi yang pernah dilakukan P2E-LIPI menunjukkan bahwa setiap penurunan kapasitas produksi sektor industri sebesar 10% berpotensi mendorong PHK (pengangguran) 500 ribu orang.
Betapa besarnya pengangguran yang akan muncul seandainya ACFTA menekan kapasitas produksi sektor industri sebesar 10 persen saja. Di sisi lain, penundaan dan pembatalan pemberlakuan ACFTA bukanlah suatu hal yang gampang dilakukan.
Pertama, sesuai peraturan, penundaan hanya boleh dilakukan ketika suatu negara sudah memberitahukan alasan-alasan penundaan yang logis ke seluruh negara terkait, paling tidak enam bulan sebelumnya.
Karena sangat terlambat, boleh jadi Indonesia akan menerima sanksi jika tetap memaksakan penundaan pemberlakuan ACFTA. Kedua, penundaan yang dipaksakan akan menurunkan kredibilitas dan integritas Indonesia. Posisi ini tentu saja akan mengurangi posisi Indonesia sebagai salah satu negara anggota G-20 dan cukup vokal di dalam pertemuan-pertemuan WTO. Ini kemudian akan menghambat ambisi Indonesia sebagai negara yang memiliki peran dan wibawa untuk merestrukturisasi tata perdagangan internasional ke arah yang lebih fair.
Solusi Minimalis
Meski relatif sulit, terdapat beberapa peluang bagi Indonesia untuk menyiasati pemberlakuan ACFTA. Pertama, melakukan lobi secara bilateral terhadap setiap negara terkait untuk melakukan penundaan terhadap produk-produk tertentu. Proses trade-in biasanya mewarnai pilihan ini.Misalnya,ketika kita meminta kompensasi kepada China agar pemberlakuan ACFTA untuk tekstil ditunda, China juga akan meminta penundaan terhadap sektor yang dianggap belum kuat untuk bersaing dengan produk sejenis dari Indonesia.
Atau China bisa meminta impor yang lebih liberal untuk produkproduk yang sangat mereka butuhkan (seperti gas atau batu bara). Kedua, seandainya ACFTA tidak bisa ditunda, pemerintah harus antisipatif untuk menyelamatkan sektor/industri nasional dengan mengimplementasikan kebijakan non-tariff dan antidumping. Misalnya, menyediakan bantuan untuk restrukturisasi permesinan dan pembebasan bea masuk impor untuk bahan baku dan permesinan yang dibutuhkan industri nasional. Juga Indonesia bisa menerapkan SNI bagi produk impor yang dijual di pasar lokal.
Ketiga, peningkatan penggunaan produk lokal sebagaimana telah diatur di dalam Inpres No 2/2009. Instansi pemerintah dan BUMN perlu didorong sebagai pelopor untuk hal ini. Reward dan punishment perlu diberlakukan untuk mendorong instansi pemerintah dan BUMN menggunakan produk dalam negeri. Sejalan dengan itu, Indonesia sudah mulai harus bergegas untuk mendorong peningkatan daya saing sektor/industri nasional.Meskipun bisa tidaknya suatu industri meningkatkan daya saing ditentukan oleh industri itu sendiri, tetapi pemerintah berkontribusi terhadap lemahnya daya saing industri nasional.
Misalnya, centang perenangnya infrastruktur, bunga kredit yang relatif masih tinggi, birokrasi yang kompleks,pungutan liar, dan peraturan yang tidak probisnis adalah beberapa hal yang menambah biaya melakukan bisnis di Indonesia yang kemudian memperlemah daya saing industri nasional. Melemahnya daya saing industri nasional juga merupakan akibat dari tidak efisiennya beberapa BUMN seperti Pertamina dan PLN.
BUMN itu mentransfer ketidakefisienannya kepada industri nasional dengan menetapkan harga jual yang tinggi terhadap produk/ jasa yang dihasilkannya kepada industri nasional. (*)
Latif Adam
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi (P2E)-LIPI
(Rani Hardjanti)