Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Dampak FTA Belum Terlihat

Meutia Rahmi , Jurnalis-Jum'at, 08 Januari 2010 |07:09 WIB
Dampak FTA Belum Terlihat
Foto: Corbis
A
A
A

JAKARTA - Pelaksanaan kesepakatan perdagangan bebas (free trade agreement/ FTA) ASEAN-China yang telah berjalan sepekan ini belum menunjukkan tren kenaikan arus barang ke Indonesia.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Thomas Sugijata mengatakan, sejak diimplementasikan 1 Januari lalu,belum terlihat ada peningkatan impor dari negara-negara pelaksana FTA. ”Bea Cukai kan punya data cepat, early warning, impor-impor dari mana saja.Tapi belum terlihat ada kenaikan,” ujar dia di Jakarta kemarin. Kendati demikian, Ditjen Bea Cukai tetap meningkatkan pengawasan terhadap barang-barang masuk terutama untuk menghindari penyelundupan.Dalam hal ini, Thomas mengatakan, pihaknya akan memperhatikan kelengkapan Model E atau surat keterangan asal (SKA). Dengan demikian,bisa ditentukan barang-barang mana saja yang berhak mendapat tarif sesuai FTA ASEAN-China.

”Pengawasan dari dulu memang sudah dilakukan tetapi sekarang intensitasnya ditingkatkan,” imbuhnya. Meski begitu,Thomas memastikan tidak akan ada penambahan personel Ditjen Bea Cukai seiring pelaksanaan FTA ASEAN-China ini. Ditjen Bea Cukai, ujarnya, hanya akan meningkatkan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dan penggunaan teknologi informasi. Ditjen Bea Cukai berencana melakukan pelatihan terkait hal ini Senin depan. ”Supaya, mereka memiliki kemampuan dalam keseragaman dalam melakukan pemeriksaan seperti autentikasi barang dan pengecekan tanda tangan jadi tidak perlu tambah personel karena pengawasan dilakukan secara online,”paparnya.

Sementara itu,Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, implementasi FTA ASEAN-China tidak melulu akan merugikan Indonesia. Menurutnya, Indonesia diuntungkan dari sisi volume perdagangan dan tingkat kemakmuran juga akan naik. ”Tetapi, memang ada sektor-sektor yang akan terpukul,”ujarnya. Adapun beberapa sektor yang diperkirakan terpukul antara lain, industri garmen, kulit, produk makanan, perkebunan, mineral, industri baja,besi,dan logam. Di sinilah, tuturnya, pemerintah harus membantu dengan memperbaiki daya saing industri-industri tersebut.

Bersamaan dengan itu,Purbaya mengatakan, pemerintah bisa menegosiasi ulang implementasi FTA ASEAN-China pada sektorsektor tadi supaya ditunda.Pemerintah, ujarnya, harus menyiapkan perhitungan dan alasan yang kuat agar permintaan penundaan tersebut tidak dianggap mengadaada.” Kalau tidak,kita nanti malah dipukul balik,” imbuh dia. Selain itu,kalau terlalu banyak meminta penundaan, Purbaya melihat, Indonesia justru akan dirugikan. ”Bagaimana kalau sebagai kompensasinya mereka ternyata menunda industri-industri yang menguntungkan kita,” kata dia.

Purbaya lebih lanjut menuturkan, walaupun China bisa memproduksi barang-barang murah, Negeri Panda itu tetap mengimpor barang-barang dari Indonesia dalam jumlah cukup besar.Mereka tidak hanya mengimpor bahan mentah tetapi juga produk jadi.Dengan begitu, China sebenarnya salah satu pasar ekspor potensial bagi Indonesia. Sementara, jika Indonesia tidak terlibat dalam FTA, pasar potensial itu akan hilang karena China pasti lebih memilih mengimpor dari negara-negara ASEAN lainnya yang sudah menurunkan tarif bea masuk.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Kebijakan Publik, Fiskal, dan Moneter Hariyadi Sukamdani mengatakan,pemerintah masih mempunyai kesempatan untuk menyelamatkan industri lokal dari serangan produk China dan negara-negara Asia Tenggara. Pemerintah, ujarnya, bisa mengupayakan renegosiasi perjanjian tersebut seperti mengubah materi, meminta penundaan sesuai kepentingan nasional. Upaya lainnya, mengamankan pasar domestik dengan kebijakan nontarif terhadap produk China yang bisa merugikan.

 ”Dan membuat kebijakan antidumping untuk perusahaan China yang mengekspor ke Indonesia dengan harga murah yang tidak wajar,” paparnya.

(Candra Setya Santoso)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement