JAKARTA - Pemerintah dan Kamar dagang dan industri (Kadin) sepakat untuk membahas perundingan kerja sama bilateral Indonesia-India Comprehensive Economic Cooperation Agreeement (II- CECA).
Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Gusmardi Bustami mengatakan, pemerintah dan pengusaha Indonesia telah melakukan joint study grup pada September 2010. Dalam joint study grup, kata dia, telah membahas seperti apa dampak dan antisipasi yang harus dilakukan untuk menghadapi II-CECA. Potensi pasar India, kata Gusmardi, harus harus dimanfaatkan oleh Indonesia. Hal ini terlihat dari jumlah penduduk India yang besar, dan juga perekonomiannya yang bertumbuh secara cepat.
Gusmardi menuturkan, pada 16-17 Desember 2010, Presiden SBY, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, serta beberapa pengusaha Indonesia akan berkunjung ke India untuk melaunching II-CECA.
"Tahap awal kita adalah launching, belum bicara modalitas dan perundingan. Setelah disepakat launching, baru akan bicara timeline, dan lain sebagainya, termasuk penurunan tarif bea masuk (BM) produk kita yang mau masuk ke India. Pada saat ini, BM untuk kita 35 persen, sementara BM India ke kita hanya 2-5 persen. Perlu kita bicarakan ini dibahas dan diturunkan. Kalau kita tidak lakukan itu, maka struktur tarif kita yang ada sekarang, membuat mereka memanfaatkan kita lebih banyak,"kata Gusmardi di Jakarta, Kamis (9/12/2010).
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Perdagangan, Distribusi dan Logistik Natsir Mansyur mengatakan, Kadin mendukung implementasi dari II-CECA.
"Karena dari tren angka neraca perdagangan antara Indonesia dan India, ada surplus. Komoditi yang diperdagangkan harus tidak head to head. Sehingga ada peluang kerja sama dengan India. Dengan China kita minus. Kita harus mengenginer trade, seperti perbaikan ekspor, dan lain sebagainya. Jadi, tidak hanya enginering financing saja," jelas Natsir.
Senada dengan Gusmardi, Wakomtap Kadin Bidang Kerja sama Perdagangan Internasional Mintardjo Halim juga menilai, India merupakan pasar yang besar dan berpotensi untuk menguntungkan Indonesia. India, kata dia, merupakan negara yang sangat proteksionis. Sehingga, kata dia, Indonesia seringkali menemukan kesulitan untuk melakukan ekspor ke India.
"Tata niaga di sana juga berbelit karena memang tujuannya melindungi pasar dalam negeri. Bahkan dulu mesin-mesin industri di India jelek dan tua karena mereka tidak mau beli dari luar negeri, harus pakai bikinan India sendiri," terang Mintardjo.
Menurut Mintardjo, produk Indonesia yang berpotensi untuk diekspor kita ke India antara lain adalah, minyak kelapa sawit dan batu bara.
"Tetapi kebanyakan memang bahan mentah. Sekarang tarifnya belum nol, tetapi nanti akan minta supaya tarif minyak kelapa sawit menjadi nol. Tapi harapannya tidak cuma untuk minyak kelapa sawit, produk lainnya juga," tutur dia.
Mintardjo menjelaskan, hal yang perlu dikhawatirkan dari implementasi II-CECA adalah, India bisa mengambil alih pasar Indonesia. Sehingga, Indonesia harus melakukan exclude atau mengecualikan produk-produk yang mau diekspor yakni yang bisa diproduksi dan dibutuhkan India.
"Kerugian di kita yang perlu dikuatirkan, nanti pasar kita diambil oleh mereka. Kalau kita buka pasar bebas misalnya untuk pasar mobil, yang fight kan India dengan Jepang, kita tidak terpengaruh karena kita tidak produksi mobil. Tapi kalau yang kita buka batik atau tekstil, ya kita yang kena, makanya ini harus kita protect. Karena kalau dengan India ini tidak semua sektor harus dibuka" ujar Mintardjo.
Menurutnya, produk-produk yang perlu dilindungi oleh Indonesia antara lain adalah tekstil dan produk tekstil (TPT), jasa, dan tepung terigu. "Ini masih kita bicarakan ya. Nanti kan kita ketemu sama pemerintah dan membicarakan apa yang akan dipilih,"ucapnya.
Mintardjo mengakui, pihaknya tidak bisa menargetkan kapan II-CECA akan selesai dirundingkan. Pasalnya, mengingat pengalaman dari kerja sama bilateral yang pernah dijalani oleh India dan Malaysia yang sudah selama tiga tahun baru selesai.
"Masih jauh. Ini kan baru sepakat akan omong-omong. Malaysia dan India saja setelah tiga tahun baru sepakat. Malaysia sama Amerika sudah delapan tahun belum juga sepakat. Masih jauh untuk sampai ke penurunan tarif, bisa beres negosiasi dalam satu tahun saja sudah bagus," tandas Mintardjo.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, sektor mamin bisa diuntungkan
dengan adanya II-CECA. Namun, kata dia, yang penting adalah pemerintah bisa mengatur berbagai ketentuan mengenai non tariff trade seperti lab uji. Produk-produk mamin yang berpotensi untuk diekspor ke India antara lain adalah makanan ringan, permen, biskuit, dan minuman.
"Kita juga diuntungkan dengan peluang alternatif pasokan bahan baku dari india, karena dia kuat untuk produksi flavour dan ingridients food. Salah satunya, mango pure (bahan baku untuk minuman jus mangga)," tandas Adhi.(adn)
(Rani Hardjanti)