JAKARTA - Penjualan industri kemasan nasional pada tahun ini diperkirakan bisa mencapai Rp40 triliun. Jumlah itu mengalami kenaikan sekira 12 persen dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu.
Direktur Pengembangan Bisnis Federasi Pengemasan Indonesia (FPI) Ariana Susanti mengatakan, penjualan hingga Oktober 2011 telah mencapai Rp31 triliun. Target itu, kata dia, bisa tercapai seiring dengan semakin meningkatnya permintaan dari sektor industri pengguna kemasan.
"Saat ini, kata dia, industri pengguna kemasan terbesar adalah makanan dan minuman. Sekira 70 persen,” kata Ariana di Jakarta, Senin (7/11/2011).
Anggota-anggota FPI, kata dia, telah memproduksi kemasan untuk industri makanan dan minuman, elektronika, dan kendaraan bermotor. Namun, menurutnya, pertumbuhan industri kemasan nasional masih terkendala oleh ekonomi biaya tinggi (high cost economy) akibat mengimpor 70 persen resin plastik yang merupakan bahan baku industri kemasan.
Saat ini, kata dia, industri masih harus membayar harga mahal ketika mengimpor polipropilina (PP) dan polietilina (PE). Pasalnya, kata dia, Bea Masuk yang diterapkan untuk PP dan PE adalah sebesar 15 persen.
Masih tingginya impor itu, kata dia, disebabkan oleh belum mampunya industri hulu nasional untuk memenuhi kebutuhkan plastik domestik yang sebesar 800 ribu-1 juta ton pada tahun ini.
Direktur Hubungan Industri dan Pemerintahan FPI Yoesoef Santo mengatakan, industri kemasan nasional tidak mampu memproduksi jenis produk baru karena terkendala ekonomi biaya tinggi. Padahal, kata dia, produsen harus melakukan riset dan pengembangan produk baru.
Biaya ekonomi tinggi tersebut, kata dia, disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti tidak adanya kepastian hukum, kurang terjaminya pasokan energi, lemahnya infrastruktur, suku bunga tinggi, regulasi ketenagakerjaan, hingga pungutan liar.
"Bahkan persoalan bahan baku juga menjadi kendala,” ucapnya.