PRODUKSI minyak Indonesia dari tahun ke tahun tidak pernah mencapai sasaran, akibatnya impor Indonesia untuk subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang semakin tinggi pun dipertanyakan. PT Pertamina, sebagai pengelola minyak di Indonesia, ikut kena semprot karena dianggap tidak transparan.
Puncaknya, Karen Agustian pun mengundurkan diri dari jabatan Direktur Utama. Mundurnya Karen sesaat sebelum pemerintahan berganti, menimbulkan spekulasi-spekulasi liar. Banyak yang berkata Karen mundur lantaran tidak sanggup lagi menahan tekanan dari pemilik saham, dalam hal ini Pertamina.
Namun, Wakil Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro yang juga menjabat sebagai komisaris Pertamina, melihat mundurnya Karen karena dia sudah cukup lelah memegang BUMN terbesar itu.
"Mungkin juga beliau merasa toh sebentar lagi ini pemerintahan baru, dan biasanya kalau ganti pemerintah, salah satu yang diganti selain menteri adalah dirut Pertamina, sehingga beliau merasa toh saya akan diganti," jelas Bambang kala berbincang dengan Okezone.
Bambang menambahkan, mungkin Karen juga sudah lelah menjadi nakhoda Pertamina. Pasalnya, mengelola Pertamina memang tidak mudah.
"Selain dari volume uang yang besar, tanggung jawab yang luar biasa, dan yang lucu kan megang pertamina ini bukan kaya megang perusahaan minyak even seperti Exxon, misalkan," kata Bambang.
Dia mencontohkan, ketika Pertamina ingin menjual Elpiji 12 kilogram (Kg) yang tidak disubsidi, maka kebijakan Pertamina tersebut langsung diintervensi. "Yang lucu kenapa harus izin dari pemerintah. Nah ini kan enggak pas. Perusahaan minyak yg lain kalau menjual barang non subsidi terserah dia mau jual harga berapa," katanya.
"Jadi saya pikir akumulasi dari permasalahan, belum lagi lagi masalah BBM bersubsidi, apalagi isu mafia migas, mafia minyak, belum lagi bagaimana tingkatkan lifitng, itu sebenarnya enggak gampang," ungkap Bambang.
Kekurangan Modal
Menurut Bambang, dengan berbagai macam masalah tersebut, maka Pertamina belum dapat dikategorikan sebagai perusahaan minyak standar kelas dunia. Pasalnya, investasi yang dilakukan Pertamina masih sebatas investasi.
Dia mencontohkan, perusahaan minyak seperti Total, Exxon dan Chevron, sudah berani eksplorasi migas di lahan baru hanya berdasarkan foto udara dan survei. Bambang menambahkan, perusahaan-perusahaan minyak kelas dunia memang sudah siap untuk merugi. "Karena mungkin mereka enggak dapat apa-apa, tapi mereka sudah mengeluarkan uangnya dan enggak akan di ganti uangnya oleh cost recovery karena belum menghasilkan," jelas dia.
"Kalau Pertamina sampai sekarang kan belum berani, Kenapa? Karena tidak cukup uangnya. Tidak cukup untuk masuk ke risiko terlalu besar. Jadi pertamina ini hanya fokus membeli ladang minyak yang sudah berproduksi. Di luar negeri pun tidak ada yang baru, semuanya sudah berproduksi," tambah dia.
Bambang melanjutkan, meski tidak melakukan eksplorasi, namun anggaran Pertamina masih tetap cekak, lantaran membeli lahan minyak yang tidak murah. Pasalnya, ladang-ladang minyak tersebut bukan dijatah, melainkan didapat melalui tender. "Jadi jangan kira ooh kalau di Aljazair murah. Tapi orang lain juga ingin kan. Orang lain juga berani kasih harga tinggi," tuturnya.
"Jadi kalau kita enggak kasih harga tinggi, kita enggak akan dapat, meskipun kita menawarkan masuk akal, tapi orang lain nawar enggak masuk akal berani. Jadi di sini Pertamina akan kesulitan kalau enggak cukup modal untuk investasi," jelas Bambang.
Oleh karenanya, Pertamina membutuhkan sumber dana yang sangat besar, dan pendanaan tersebut tidak akan cukup jika hanya mengandalkan penjualan bahan bakar minyak (BBM) maupun Elpiji, apalagi hanya mengandalkan dana pemerintah. Menurut dia, salah satu sumber pendanaan yang paling besar yang bisa diandalkan, adalah dengan menerbitkan surat utang global.
"Karena dia (Pertamina) butuh dolar AS, karena investasinya kebanyakan dari dolar AS. Dan kemudian, sumber itu paling kompetitif dibandingkan dengan pinjam dari bank, baik bank lokal maupun bank asing, lebih menguntungkan dengan bonds," tukas dia.
(Widi Agustian)