Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Beda Inovatif dan Kebodohan di Mata Bos Garda Oto

Martin Bagya Kertiyasa , Jurnalis-Rabu, 27 April 2016 |05:46 WIB
Beda Inovatif dan Kebodohan di Mata Bos Garda Oto
CEO Asuransi Astra Santosa (Foto: Dok. Asuransi Astra)
A
A
A


JAKARTA - Seorang pemimpin memang harus melakukan inovasi, namun tidak jarang inovasi tersebut menjadi gagal. Hal ini yang menyebabkan pencetusnya di anggap sebagai orang bodoh, lantaran membawa perusahaan pada kerugian.

"Jadi visioner dan kebodohan itu memang bedanya hanya di hasil. Kalau akuisisi berhasil, wah pasti dibilang visioner orang ini, tapi kalau jeblok pasti dibilang, wah bodoh pilihan akusisinya ini," kata CEO PT Asuransi Astra Buana Santosa kepada Okezone. [Baca juga: Kisah CEO Asuransi Astra dan Tips Suksesnya]

Dia pun berbagi kisah tentang Andrew Groove, seorang CEO di Intel pada periode 1980-an, yang baru saja meninggal Maret kemarin. Santosa mengisahkan, Intel awalnya besar bukan karena memproduiksi prosesor. Pada periode 1960-1970, Intel merupakan perusahaan yang bermain pada memory computer mainframe.

"Lalu datang Toshiba, Panasonic dan perusahaan korea bikin memory, mereka datang ke Amerika dan bilang 'ini memory, sampling, kalau Anda merasa ini setara dengan Intel, berapa pun harga yang ditawarkan intel, kita bisa kasih 10 persen lebih murah. kalau kompetitor udah bilang gitu, apa enggak pusing," katanya.

"Sementara memori kan komoditi, apa fiturnya? Enggak ada, paling hanya defrag rate. Begitu di test, oh defrag ratenya ternyata tidak jauh bebeda dengan intel, harganya 10 persen lebih murah. Akhirnya clien datang dong ke intel, mereka bilang bisa kalian turun, ya turun lah terpaksa Intel. Pas Intel turun, mereka turun lagi 10 persen, habislah. Begitu quality sama harga lebih murah enggak punya pilihan," jelas dia.

Santosa mengisahkan, dua tahun setelah peperangan tersebut Andrew mulai pusing memikirkan keberlanjutan perusahaan. Akhirnya dia pun membuat sebuah langkah yang cukup ekstrem.

"Dia kumpulin semua direksinya lalu bilang, hari ini kita semua dipecat, besok pagi anggap semua di sini adalah direktur baru, jadi apa yang musti kita lakukan? Akhirnya semua facility dia jual ke Jepang, lalu dia riset, mana yang punya prosepek. Akhirnya keluarlah 8088 dan 8086 yang sekarang kita kenal dengan celeron dan chipset lain pentium," jelas dia.

"Tidak banyak orang yang berani seperti itu, saya enggak yakin misalnya pak Pri (Dirut Astra) datang. Automotif jelek, kita jual yuk, enggak mungkin kan ada yang bicara seperti itu," katanya di iringi tawa lepas

"Sama seperti Nokia, dulu pasarnya hampir 100 persen, tapi kenapa dia gagal? Karena enggak berani untuk kanibal bisnis. Orang itu untuk kanibal kadang enggak berani, nervous," tambah dia.

Namun, Santosa juga mencontohkan kasus akuisisi yang gagal, yakni Steve Ballmer, orang yang bertanggung jawab dengan keputusan Microsoft dalam mengakuisisi Nokia, "Kan dibilang stupid dia, USD9,4 miliar dijeburin sekarang jadi 0. Dia akuisisi kan 201, dalam lima tahun jadi 0, dibilang bodoh kan. Coba kalau nokia rebound di pasar, pasti dia dibilang visioner," kelakarnya.

"Dan kalau sudah jadi orang berhasil, ngomong apa saja pasti didengarkan. Steve jobs waktu masih hidup kan dibilang visioner, padahal dulu pernah dibodo-bodohin waktu Machintos turun, terus ditendang keluar. Llalu dia balik bikin iPod bikin iPhone, dibilnag jenius lagi kan," tambah dia.

Oleh karena itu, dia mengatakan bisnis juga memiliki faktor keberuntungan yang besar. Dia mengibaratkan bisnis dengan undian berhadiah yang diikuti oleh banyak orang, namun hanya dimenangkan oleh satu orang.

"Misal ada undian Rp1 miliar hanya tebak sisi mata uang yang akan keluar. Lantas ada 10 juta orang yang ikut. Pertama diundi, ada yang angka ada yang gambar. Paling tidak ada 5 juta orang keluar, karena probabilitynya 50:50. Begitu terus, sampai tinggal satu pemenang. Artinya si pemenang ini katakanlah 23 kali menebak koin tidak pernah salah," jelas dia.

"Entah dia pinter atau beruntung? Tapi pasti ada yang menang, itulah bisnis, pasti ada faktor luck. Karena pada kesempatan yang ke-22 itu masih ada dua orang yang memiliki kesempatan yang sama, tapi hanya ada satu pemenang. Bisnis itu begitu, di tiap sektor hanya ada satu pemenang, tapi bukan berarti yang lain lebih jelek," ungkapnya.

(Fakhri Rezy)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement