Pemerintah Indonesia memproyeksikan penerimaan antara USD8 miliar-USD15 miliar melalui skema tersebut. Indonesia memiliki masalah pendapatan-koleksi di luar sengketa. Hanya 27 juta dari 255 juta rakyat terdaftar sebagai wajib pajak dan pada 2014 hanya 900.000 orang yang membayar sesuai ketentuan.
Tahun lalu penerimaan pajak hanya 82 persen. Adapun rasio pajak terhadap PDB sekitar 10 persen, lebih kecil dibandingkan dengan negara tetangga di Asia Tenggara sebesar 13-15 persen. Presiden Indonesia, Joko Widodo, mengatakan dia ingin meningkatkan bahwa rasio pajak mencapai 16 persen.
Namun, dengan adanya tambahan sekira USD10 miliar, pemerintah bisa meningkatkan sepuluh kali jumlah pajak di atas kertas. Mulai tahun depan, Indonesia akan mendapatkan yurisdiksi untuk memeriksa kekayaan warga negara mereka yang tersembunyi. Singapura, Hong Kong, Swiss dan Mauritius, telah sepakat untuk berbagi informasi tentang rekening mereka dengan pemerintah, di bawah skema OECD yang dikenal sebagai Pelaporan Standar umum (CRS).
Dengan menerapkan tarif pajak yang normal, Indonesia dalam perkiraan konservatif oleh CRS bisa menghasilkan lebih dari USD100 miliar. Sebelum hukuman, pajak yang akan diterapkan Indonesia hanya 2 persen. Namun, Indonesia bisa memungut tarif 25 persen dari perusahaan offshore.
Pengawat dari Justice Network Tax, Nicholas Shaxson, memandang sangat mungkin bahwa orang-orang kuat di Indonesia telah merekayasa hal ini, untuk memastikan bahwa mereka tidak terkena dan tidak dikenakan sanksi. "Tapi ini kemungkinan lain, karena Menkeu Brodjonegoro mengatakan akan menunggu CRS berlaku. Namun manfaat dari segi penerimaan pajak hanya akan mulai pada 2019, ketika pemerintahan berakhir," katanya.
(Martin Bagya Kertiyasa)