 
                
JAKARTA - ”Teliti sebelum membeli” adalah ungkapan lawas yang untuk sebagian besar orang sudah dipahami dengan baik. Tetapi, kalau ungkapannya ditambahkan menjadi ”teliti sebelum membeli sandal”, pasti orang akan bertanya kembali, faktor ketelitian apa yang khusus untuk urusan membeli sandal?
Pada 2015 media sosial dihebohkan dengan berita yang naik ke permukaan, yaitu sandal merek Glacio yang ternyata mempunyai desain di bagian bawah (alas) sandalnya yang terbaca sebagai lafaz ”Allah”. Bagi umat Islam, tulisan nama Allah di bagian alas kaki dan diinjak-injak pasti tidak baik dan salah, dan menganggap brand ini mencoba melakukan sesuatu yang berbau SARA.
Pemilik perusahaan saat itu menyampaikan pembelaan dengan mengaku menyadari bahwa desain alas sandal tersebut menyiratkan sesuatu yang sangat sensitif bagi kaum muslim. Lepas dari benar tidaknya ketidaktahuan pemilik brand , hal ini sudah menimbulkan sebuah persepsi yang negatif terhadap brand Glacio bagi konsumen pengguna sandal yang beragama Islam yang menyadari adanya kasus tersebut. Dalam branding, product strategy harus dipikirkan secara matang.
Desain produk, termasuk salah satu brand element yang tidak bisa dipisahkan dari keseluruhan citra brand . Kasus Sandal Glacio memberikan pelajaran bagi pemilik brand, bagaimanapun sangatlah penting untuk memeriksa semua brand elemen yang terkait dengan produk. Jika terjadi, konsumen yang semula menjadi soulmate bisa berpindah ke lain hati.
Dari Sandal ke Bihun
Pelajaran brand ini ternyata terulang kembali. Masyarakat khususnya di media sosial kembali dihebohkan dengan adanya produk yang kontroversial, yaitu snack berbahan dasar bihun dan yang bisa langsung dikonsumsi. Nama makanan ringan itu Bikini, akronim dari bihun kekinian. Pada sandal, masalah elemen brand bisa diperdebatkan karena untuk sebagian orang tulisan itu tidak bermakna apa-apa, dan tulisannya pun berada di bagian bawah sandal yang tidak bisa langsung terdeteksi saat seseorang melihat produk di display toko.
Tetapi, produk kali ini elemen brand -nya sangat nyata karena berada di bagian depan dan sentral sebagai desain kemasan. Nama brand ini sebenarnya sangat kreatif dari sisi kacamata komunikasi brand karena catchy, memorable, dan punya stopping power yang tinggi untuk membuat seseorang berhenti dan tertarik untuk melihat produk tersebut. Produk yang bisa dikatakan sebagai inovatif kreatif ini ternyata selain mendulang sukses juga mendulang kontroversi.
Pada kemasannya menampilkan gambar karikatur bikini walau tanpa wajah. Meski demikian, tetap saja ini dianggap tidak cocok untuk anakanak dan remaja. Apalagi pada bagian kemasannya terdapat tagline ”Remas aku” sehingga menambah kesan negatif. Masalah tidak sampai di situ, kemasan yang berbau pornografi ini juga menarik perhatian instansi terkait karena label halal yang dicantumkannya ternyata tidak terdaftar (ilegal). Apalagi kandungan komposisi bahan tidak dijelaskan termasuk tidak adanya tanggal kedaluwarsanya.
Seorang mahasiswa di kelas marketing saya, Bobby, menyatakan dia akan berpikir seribu kali untuk membeli produk itu dan membawanya ke rumah. Dia khawatir produk itu dilihat adik-adiknya dan yakin bahwa orang tuanya pasti tidak suka saat melihatnya mengonsumsi produk dengan kemasan yang ”seronok”.
Dia merasa sangat tidak nyaman untuk mengonsumsinya, walaupun rasa ingin tahu tetap tinggi. Pelajaran branding yang bisa dipetik adalah jangan bertaruh dalam memasarkan produk. Selain konsumen, juga masih ada pihak-pihak lain yang perlu diperhatikan. Para stakeholders bisa menjadi faktor penghambat sebuah ide cemerlang ini diterima secara terus-menerus. Yang bermasalah dengan produk Bikini ini adalah keberlangsungannya.
Produsen melupakan bahwa sebuah produk tidak bisa hanya dibuat untuk ”memuaskan needs” dari konsumen saja, tetapi ada banyak pihak lain yang terkait yang juga perlu dijajaki pendapatnya. Konsumen anak dan remaja Bihun Kekinian ini mungkin saja akan tertarik, bahkan menikmati keseruannya dan kemudian menjadi brand ambassador dan pemicu viral untuk teman-temannya.
Tetapi, produsen melupakan bahwa pada saat yang sama ada stakeholder lain yang terganggu, maka viral itu pun menjadi bumerang. Semua investasi waktu, energi, bahkan uang untuk memasarkan produk, menjadi sia-sia saat produk harus dihentikan pemasarannya secara paksa.
Seperti pepatah mengatakan: mencegah lebih baik dari mengobati, lakukan tes terlebih dulu untuk melihat respons stakeholders terhadap ide-ide cemerlang, terutama bila ada unsur yang menjurus pada kontroversi. Jangan sampai ”kekinian” tersebut adalah ide yang good idea not applicable (GINA).
Amalia E. Maulana. PH.D.
Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting www.amaliamaulana.com
(Raisa Adila)