SEMARANG - Hari Tani Nasional diperingati di beberapa daerah kemarin meskipun setiap tahun diperingati, tapi nasib petani dinilai masih memprihatinkan.
Di Jateng, jumlah rumah tangga petani terus mengalami penurunan. Pada 2003 lalu mencapai 5,71 juta jiwa. Sementara pada 2013 sisa 4,6 juta jiwa. Jumlah itu diperkirakan terus merosot tiap tahun.
Selain itu, lahan pertanian juga terus mengalami penyusutan. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Jateng bahwa lahan pertanian di wilayah ini yang beralih fungsi pada 2013 mencapai 2.835 hektare (ha) dan pada 2014 mencapai 720,21 ha. Sedangkan pada 2015 diperkirakan menyusut sekitar 700 ha.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Petani Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI) Riyono mengatakan, petani juga sering kali dihadapkan dengan tata niaga hasil pertanian yang acap tidak menguntungkan petani.
“Hari ini kita peringati hari tani nasional sebagai wujud kepedulian kepada petani, namun apa yang sekarang bisa kita lakukan untuk petani,” katanya di Semarang.
Menurut Riyono, pada peringatan Hari Tani Nasional ini, pemerintah diminta mewujudkan kedaulatan pangan berbasis kepada kesejahteraan petani. Menurutnya, petani harus dijadikan aktor utama dalam pembangunan nasional.
“Pemerintah pusat harus mengawal pelaksanaan undang-undang tentang perlindungan dan pemberdayaan petani sampai level provinsi. Sampai sekarang pemerintah pusat kelihatan adem ayem meskipun undang-undang sudah disahkan selama tiga tahun, buktinya peraturan pemerintah (PP) juga belum ada,” katanya.
Riyono yang juga menjadi anggota Komisi B DPRD Jateng itu menambahkan, kunci kesejahteraan petani harus didahului dengan kebijakan politik. “Hentikan impor pangan strategis yang mampu dihasilkan petani. Ini tidak mudah, tapi harusnya bisa. Stop impor butuh keberanian politik,” katanya.
Dia menyebutkan, Data Badan Pusat Statistik (BPS ) 2015 menunjukkan delapan produk strategis nasional mulai dari beras, jagung kedelai, gula, gandum, dan garam dengan nilai impor tembus di angka Rp52 triliun. “Ini jelas sebuah ironi di negeri agraris,” kata Riyono.
Untuk menyejahterakan petani, kata dia, pengawalan Undang- Undang Perlindungan Petani sampai level provinsi dan kabupaten dalam bentuk lahirnya perda adalah wujud nyata kehadiran negara di sawah dan desa.
“Jangan mimpi petani sejahtera jika impor jalan terus. Jangan mimpi negeri agraris akan perkasa jika petani hanya jadi aksesori pembangunan,” ujarnya.
Perda tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani di Jateng sudah disahkan beberapa bulan lalu. Pemprov Jateng diminta menindaklanjuti dengan membuat peraturan gubernur (pergub).
Dia juga mendesak pemprov agar memprioritaskan program pertanian. Alih fungsi lahan pertanian perlu dikendalikan agar kedaulatan pangan di wilayah ini tetap aman. Apalagi Jawa Tengah menjadi penyangga pangan secara nasional.
Kepala Dinas Pertanian Jawa Tengah Suryo Banendro mengakui jumlah lahan pertanian mengalami penyusutan 700 ha tiap tahunnya.
“Lahan itu ada yang beralih fungsi menjadi perumahan maupun industri. Bertambahnya jumlah penduduk berdampak pada banyaknya lahan yang digunakan untuk permukiman,” ujarnya.
Namun, Suryo mengklaim, menyusutnya lahan pertanian itu tidak menurunkan produksi pangan di wilayah ini.
Pada 2014, Jateng mampu memproduksi 9,6 juta ton gabah kering panen (GKP), sedangkan pada 2015 meningkat menjadi 11,3 juta ton GKP. Di tengah lahan pertanian terus menyusut, pihaknya memodernisasi sistem pertanian agar produksi hasil pertaniannya tidak berkurang. Langkah yang dilakukan adalah petani diminta menanam bibit dengan varietas unggul sehingga jumlah produksinya akan bertambah.
“Kami juga akan menggunakan teknologi pertanian sekaligus melakukan pendampingan secara rutin,” katanya.
Dia tidak memungkiri bahwa jumlah rumah tangga petani di Jateng terus mengalami pengurangan karena banyak yang sudah beralih profesi. Ia mengaku untuk menumbuhkan anakanak muda berminat menjadi petani, pihaknya terus menyosialisasikan kepada pelajar maupun mahasiswa agar mereka ada ketertarikan menjadi petani.
“Termasuk program live in di perdesaan bagi mahasiswa,” katanya.
Sementara Kepala Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Pusat Studi Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Edi Waluyo mengatakan, alasan petani beralih profesi sebenarnya disebabkan tidak ada kepastian harga dari hasil pertanian produksi.
“Bahkan tidak ada jaminan untung,” katanya.
Karena itu, kata Ketua Asosiasi Badan Usaha Milik Petani (BUMP) Jawa Tengah ini petani perlu dibuatkan badan usaha petani, agar bisa mengembangkan produksi pertaniannya. “Ini demi kedaulatan petani yang ada di Jateng,” katanya.
(Dani Jumadil Akhir)