Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

"Ali" Rasa "Baba" di Ekonomi Digital

Koran SINDO , Jurnalis-Jum'at, 17 November 2017 |11:28 WIB
Ilustrasi (Foto: Reuters)
A
A
A

Singkat kata, tidak ada yang salah dengan keberpihakan negara dalam pengembangan teknologi. Justru, tanpa negara, ino vasi teknologi tidak akan pernah berkembang. Namun di sisi lain, keberpi hakan harus dijalankan secara hati-hati apabila tetap ingin menjaga daya saing industri.

Indonesia pernah mengalami kasus konkret terkait kebijakan teknologi yang tidak tepat sasaran, Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Pada 1976, IPTN dibangun dengan memanfaatkan profit besar dari industri migas. Pada 10 Agustus 1995, dunia dihentakkan dengan berhasilnya maiden flight pesawat N-2S0 hasil karya putra terbaik bangsa Indo nesia. N-250 melibatkan 1.500 insinyur IPTN. Namun, biaya untuk proyek ini membengkak.

Dalam kondisi kekurangan dana, Presiden Soeharto mengizinkan IPTN mendapat kan hutang tanpa bunga sebesar Rp400 miliar (atau sekitar USD200 juta pada masa tersebut) yang bersumber dari Dana Reboisasi Kementerian Kehutanan. Skema ini mendapat pertentangan masyarakat, apalagi saat itu Indonesia memasuki masa krisis.

Ditambah dengan lemahnya manajemen, proyek N250 akhirnya ditunda. Beruntung saat ini IPTN (sekarang PT. Dirgantara Indonesia) ber angsur sudah mulai pulih dan mulai meningkat kinerjanya. Kasus IPTN membuktikan bahwa kebijakan proteksionisme tidak mudah dan tidak murah. Apa lagi jika iklim industri belum didukung persaingan sehat.

Pembatasan Asing

Di tengah serbuan modal asing ke dalam ekonomi digital Indonesia, wajar ada hasrat nasionalisme tinggi memproteksi ekonomi digital lokal. Namun demikian, pengembangan ekosis tem domestik tidak selalu harus berupa restriksi.

Ada berbagai format dari berbagai negara yang berhasil mengembangkan industri digital lokal tanpa harus bersikap ekstrem membatasi modal asing. AS berfokus pada komersialisasi hasil penelitian militer yang menghasilkan internet, GPS, dan teknologi lainnya.

India berfokus pada pengembang an infrastruktur biometrik dan jaringan pembayaran Unified Payments Interface (UPI) yang dapat dimanfaatkan seluruh perusahaan dan startups. Prancis di era Presiden Sarkozy berfokus pada kebijakan investasi strategis melalui unit khusus Fonds Stratégique d'Investissement (FSI). Selain itu, masih banyak contoh lain yang dapat dijadikan referensi.

Bahkan, China yang terkenal menerapkan kebijakan proteksionisme ekstrem pun tidak anti modal asing. Pemegang saham terbesar Alibaba Group ada lah Softbank dari Jepang dan Yahoo dari AS. Pemegang sa ham terbesar di Tencent adalah Naspers, perusahaan telekomunikasi dari Afrika Selatan.

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement