Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Jangan Hanya Fokus Penerimaan, Tata Kelola Batu Bara Perlu Seimbangkan Lingkungan

Antara , Jurnalis-Senin, 20 November 2017 |14:52 WIB
Jangan Hanya Fokus Penerimaan, Tata Kelola Batu Bara Perlu Seimbangkan Lingkungan
Ilustrasi: (Foto: Okezone)
A
A
A

JAKARTA - Tata kelola sektor batubara yang dilakukan oleh pemerintah perlu benar-benar menyeimbangkan dari aspek konservasi atau perlindungan lingkungan hingga segi penerimaan negara terutama dari bidang sumber daya alam.

"Penting bagaimana tata kelola batubara ini dari satu sisi penerimaan negara, tetapi juga tidak dilepaskan dari aspek konservasi lingkungan dan energi ke depan," kata Koordinator Divisi Jaringan ICW Abdullah Dahlan dalam diskusi bertajuk "Kerugian Negara dari Unreporting Ekspor Batubara Indonesia 2006-2016" di Jakarta, Senin (20/11/2017).

Abdullah Dahlan mengingatkan bahwa RI adalah salah satu dari lima negara terbesar dalam penghasil batubara.Ia memaparkan, dengan luas tambang 16,2 juta hektare serta produksi 434 juta ton per tahun, tentu bila tidak dikelola dengan baik maka akan berpotensi habis dalam jangka waktu 56-59 tahun mendatang.

Baca Juga: Lewat Pameran Batu Bara, Indonesia Coba Dominasi Pasar di China

Abdullah juga mengungkapkan, adanya temuan yang menarik bahwa ada luasan sekitar 5,6 juta hektare pada tahun 2014 yang ternyata termasuk dalam area kawasan lindung konservasi. Selain itu, ujar dia, pihaknya juga mensinyalir masih adanya ratusan perusahaan yang masih belum mendapatkan izin yang memadai dalam prosedur pengelolaan batubara.

Sementara itu, Koordinator Divisi Riset ICW Firdaus Ilyas mengingatkan bahwa sektor sumber daya alam masih menjadi tulang punggung dalam penerimaan pajak. Firdaus juga mempertanyakan apakah pemerintah masih belum punya cara lain dalam mewujudkan konsep Nawacita sehingga banyak program yang akhirnya bergantung kepada instrumen seperti utang, padahal sumber lain seperti PNBP belum tergarap optimal.

Sebelumnya, Peneliti lembaga Wiratama Institute Muhammad Syarif Hidayatullah mengatakan, pemerintah seharusnya dapat menetapkan target penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2018 secara lebih realistis.

Baca Juga: ICW: Ada Indikasi Kerugian Negara Rp365,3 Triliun di Sektor Batu Bara

"DPR baru saja mengesahkan APBN 2018 dan ada sejumlah hal yang perlu jadi perhatian. Pertama, kurang realistisnya target penerimaan perpajakan dan kedua terkait penyaluran bantuan nontunai," kata Syarif Hidayatullah.

Menurut Syarif, pemerintah harus lebih konservatif dalam menentukan target penerimaan pajak pada APBN 2018, sehingga kesalahan penetapan target penerimaan pajak APBN 2015 dan 2016 terulang kembali.

Ia mengemukakan, penerimaan perpajakan pada APBN 2018 ditargetkan menjadi Rp1.618 triliun, atau meningkat Rp8,7 triliun dibandingkan RAPBN 2018, dan naik 9,91% dibandingkan target APBN-P 2017.

"Target ini terkesan konservatif apabila membandingkan dengan rata-rata pertumbuhan penerimaan perpajakan selama satu dekade sebesar 13,9%. Akan tetapi, perlu menjadi catatan adalah besarnya pertumbuhan penerimaan pajak tersebut ditopang oleh boom harga komoditas 2009-2012," jelasnya.

Baca Juga: Menteri Jonan: Kita Dorong Terus Ekspor Batu Bara Indonesia ke China

Ia berpendapat, bahwa semenjak harga komoditas mengalami penurunan yang berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi, rata-rata pertumbuhan penerimaan perpajakan Indonesia hanya sebesar 7% pada periode tahun 2013-2016, sehingga target 9,91% masih kurang realistis.

Syarif mengingatkan, target penerimaan perpajakan yang kurang realistis akan berdampak kurang baik pada beberapa hal, antara lain menyebabkan "shortfall" perpajakan, menghambat realisasi belanja dan pada akhirnya memperlebar defisit anggaran.

(Kurniasih Miftakhul Jannah)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement