JAKARTA - Bank Indonesia (BI) menyatakan ada beberapa tantangan yang akan dihadapi Indonesia di tahun 2018 untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan sebesar 5,1%-5,5%. Tantangan itu baik berasal dari domestik maupun global.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, tantangan domestik yang yang harus disikapi adalah terbatasnya peran konsumsi rumah tangga. Bahkan, sumbangan konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi terus menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada kuartal-I 2013 tercatat konsumsi rumah tangga berkontribusi di atas 3% terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, angkanya menurun hingga akhirnya berada di bawah 2,8% pada kuartal-III 2017.
"Kita harus waspadai kondisi konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam beberapa tahun ini, sumbangan konsumsi rumah tangga itu menurun, ini satu yang perlu disikapi, ini jadi perhatian, kami harapkan Indonesia ke depan masih dapat kontribusi dari konsumsi rumah tangga," ujar Agus dalam konferensi pers akhir tahun di Gedung BI, Jakarta, Kamis (28/12/2017).
Baca Juga: Sri Mulyani: Pertumbuhan Ekonomi 5,05% hingga Akhir Tahun
Tantangan selanjutnya, lanjut Agus, berasal dari sektor keuangan secara struktural. Agus menjelaskan, hingga saat ini belum optimalnya pembiayaan domestik sehingga menyebabkan ketergantungan terhadap luar negeri. Hal ini terlihat dari kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) oleh non residen.
"Dilihat dari sektor keuangan, ada tantangan struktural belum optimalnya pembiayaan domestik sehingga bergantung pada utang luar negeri. Surat utang negara dimilki oleh non residen yang meningkatan debt service ratio (rasio pembayaran utang) semakin tinggi," jelasnya.
Baca Juga: Amerika, Robot hingga Penduduk Lanjut Usia Bakal 'Ganggu' Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Untuk tantangan global, kata Agus perlu diwaspadai adanya normalisasi kebijakan moneter negara maju, diantaranya Amerika Serikat (AS). Tren kenaikan suku bunga acuan The Fed (Fed Fund Rate/FFR) diprediksi akan terus berlanjut hingga 2019.
"2018 diprediksi akan dinaikkan lagi 3 kali dan 2019 dinaikkan 2 kali. jadi kita harus bersiap dengan kondisi moneter dunia yang cukup ketat di dorong kebijakam moneter negara maju," ucap Agus.
Baca Juga: Menteri Bambang Andalkan Tahun Politik Jadi Motor Pertumbuhan Ekonomi
Hal lainnya, yakni proteksionisme negara yang membuat masing-masing negara mulai mengurangi aktivitas perdagangan antar negara. Kemudian, adapula risiko geopolitik di Semenanjung Korea dan Timur Tengah.
"Risiko geopolitik yakni ketegangan Semenanjung Korea dan Timur Tengah juga harus diwaspadai. Serta risiko sistem keuangan global, aset valuasi aset itu sudah cenderung tinggi, dimana mencapai 14,5%. Negara lain Brasil dan Argentina serta AS, itu Price Earning Ratio yang sudah lebih tinggi," jelasnya.
(ulf)
(Rani Hardjanti)