JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjelaskan bahwa tarif listrik untuk nonsubsidi bisa saja naik. Kenaikan tersebut sesuai dengan reformulasi komponen perhitungan tarif listrik yang berlaku pada Maret 2018.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Andy Noorsaman Someng menjelaskan, formulasi baru akan disusun lagi jika memang ada faktor-faktor yang memengaruhi harga jual listrik. Pasalnya, rencana Reformulasi tersebut dengan memasukkan harga batu bara acuan (HBA) dalam komponen perhitungan tarif listrik.
Dia juga menyebutkan, meskipun nantinya HBA dimasukkan dalam komponen namun hal tersebut tidak menjadikan harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) dihapus dalam komponen perhitungan. Pasalnya, masih ada pembangkit listrik yang menggunakan gas dan mengacu pada ICP.
Baca juga: Kementerian ESDM Masih Matangkan Konsep Batu Bara Masuk Tarif Listrik
"Sekarang ICP, kurs, inflasi, tapi nanti harus izin dulu. Ada ketentuannya. Ada faktor inflasi, nilai tukar, ICP, ditambah faktor batubara. Persentasenya sama saja. Harus dimasukin dong. Kenapa ICP? Karena gas juga. Gas ngacu ke ICP. Katakanlah 24%," katanya di Gedung Ditjen Ketenagalistrikan, Jakarta, Senin, 29 Januari 2018.
Kementerian ESDM saat ini tengah menyiapkan peraturan mengenai hal tersebut. Nantinya, regulasi yang dikeluarkan akan berbentuk keputusan Menteri ESDM (Kepmen). Adapun, komponen perhitungan ini hanya akan berlaku untuk pengguna listrik tarif penyesuaian (adjustment) yang sebanyak 12 golongan.
Berikut ini fakta-fakta di balik sinyal kenaikan tarif listrik non-subsidi, Selasa, 30 Januari 2018.
Baca juga: PLN Tahan Pembangunan Pembangkit Listrik 5.000 Mw, Kenapa?
1. Harga batu bara acuan (HBA) akan dimasukkan dalam komponen perhitungan tarif listrik
Pertimbangan ini didasari oleh porsi penggunaan batu bara untuk pembangkit listrik masih menjadi tumpuan hingga 2026 mendatang. Direktorat Jenderal Ke tenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan rencana reformulasi kom ponen perhitungan tarif listrik tersebut akan berlaku pada Maret 2018.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Andy Noorsaman Sommeng mengungkapkan, meskipun nanti HBA dimasukkan dalam komponen, tapi hal tersebut tidak menjadikan harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ ICP) dihapus dalam komponen perhitungan.
Pasalnya, masih ada pembangkit listrik yang mengguna kan gas dan mengacu pada ICP. ”Sekarang (komponen perhitungan tarif listrik) ICP, kurs, inflasi, tapi nanti harus izin dulu. Ada ketentuannya. Ada faktor inflasi, nilai tukar, ICP, ditambah faktor batu bara. Persentasenya sama saja. Harus dimasuki dong. Kenapa ICP? Karena gas juga. Gas meng acu ke ICP. Katakanlah 24%,” katanya di Jakarta, kemarin.
Baca juga: Kementerian ESDM Masih Matangkan Konsep Batu Bara Masuk Tarif Listrik
2. Kementerian ESDM tengah menyiapkan peraturan
Nantinya regulasi yang dikeluarkan akan berbentuk keputusan Menteri ESDM (kepmen). "Yang mungkin bisa bulan depan atau bulan Maret," kata Sommeng.
3. Skema ini berlaku bagi pelanggan non-subsidi
Kementerian ESDM memastikan komponen perhitungan ini hanya akan berlaku untuk pengguna listrik tarif penyesuaian (adjustment) yang sebanyak 12 golongan atau pengguna listrik nonsubsidi.
"Kalau adjustment kan nonsubsidi. Yang 12 tuh. Yang 12 kelompok. Yang jelas pemerintah nggak akan mungkin membuat susah PLN dong. Kalau PLN susah nanti gelap," kata Sommeng.
4. Pertimbangan Menteri ESDM Ignasius Jonan
Menteri Jonan pernah mempertimbangkan rencana melakukan reformulasi komponen perhitungan tarif listrik di Indonesia.
Selama ini komponen yang menjadi bahan pertimbangan perhitungan tarif listrik antara lain kurs nilai tukar Rupiah, inflasi, dan harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ ICP).
"Ini akan di coba untuk reformulasi lagi formula penetapan tarif listrik, bagaimana kalau dengan masuknya harga batu bara. Karena pembangkit kita itu 60% energi primernya batu bara. Jadi hingga 2026 masih dominan pakai batu bara, karena harganya lebih kompetitif, tapi pembangkit nya juga harus yang teknologi nya lebih environment friendly," ujar Jonan.
5. Selama ini harga minyak masih menjadi faktor utama pengambilan keputusan tarif tenaga listrik
Sementara saat ini porsi penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar diesel semakin kecil, sekira 4%. Ditargetkan, hingga 2026 penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar diesel tinggal 0,05%.
"Masa pakai ICP, kalau mau pakai HBA," kata Jonan.
6. Penggunaaan HBA?
Penggunaan HBA yang akan digunakan pemerintah sebagai komponen perhitungan tarif listrik harus diikuti dengan kebijakan pengaturan di sektor batu bara sebagai energi primer pembangkit listrik.
”Kebijakan itu pasti berpengaruh ya. Apa lagi pemerintah tahun ini ber tekad tidak akan menaikkan tarif listrik,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR Herman Khaeron ketika dihubungi di Jakarta, kemarin.
Pemerintah, kata dia, harus menerapkan kebijakan kewajiban penggunaan batu bara untuk dalam negeri atau domesticmarket obligation (DMO) sebesar 25% dan menerapkan harga khusus (special price) bagi PLN.
"Kalau tidak, pasti kebijakan ini akan membebani PLN sebagai operator listrik negara. Sebagai gambaran, pada 2016 keuntungan PLN mencapai Rp18 triliun. Tapi kalau kebijakan ini diterapkan dan tidak ada DMO dan special price batu bara, maka keuntungan PLN bisa tergerus menjadi hanyaRp1 triliun-Rp2 triliun saja," katanya.
7. Harga Batu Bara
Harga batu bara tahun ini diperkirakan masih stabil bergerak di kisaran USD70-USD100 per ton. China masih menjadi aktor utama yang meng gerakkan harga batu bara. Harga berpeluang menguat seiring dengan ekspansi pertumbuhan ekonomi negara tersebut dan intervensi pembatasan pasokan.
Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara mencatat HBA bulan Desember 2017 turun sekitar 0,8% menjadi USD94,04 per ton, dari USD94,84 per ton pada bulan sebelumnya.
8. Kapasitas Pembangkit Listrik
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, kapasitas terpasang pembangkit listrik nasional dari batu bara hingga 2016 sebesar 29.880,23 mw dari total 59.656,30 mw. Sedangkan pembangkit listrik diesel hanya sebesar 6.274,79 mw secara nasional.
Sebagai informasi, hingga saat ini perhitungan tarif tenaga listrik masih menggunakan tiga komponen, yakni dari harga minyak mentah Indonesia atau ICP, kurs Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan laju inflasi. (lid)
(Rani Hardjanti)