JAKARTA - Aset dari holding badan usaha milik negara (BUMN) bidang pertambangan diperkirakan akan berkisar pada nilai Rp90 triliun.
Namun, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan Bisman Bhaktiar mempertanyakannya realisasi nilai aset hasil konsolidasi, setelah BUMN industri tambang diholdingkan.
Baca juga: Aset Holding BUMN Tambang Rp90 Triliun, Bisa untuk Apa Saja?
Pasalnya Bisman meyakini besaran nilai aset Rp90 triliun yang ditargetkan oleh pemerintah, tidak akan terjadi karena proses konsolidasi terganjal oleh saham dwi warna yang ada pada anak perusahaan holding.
"Sejak awal memang pembentukan holding tersebut bermasalah dan dipaksakan. Masalah tidak bisa konsolidasi karena melanggar PSAK65 menunjukkan bahwa pembentukan holding tambang tersebut sebelumnya tidak melalui kajian yang mendalam dari pemerintah," kata dia, Rabu (14/2/2018).
Baca Juga: Penyertaan Modal Negara Inalum Nontunai, Menteri BUMN Diminta Jelaskan Holding Tambang
Karena berdasarkan peraturan satandar akuntansi keuangan 65 (PSAK65) bahwa suatu aset bisa dikonsolidasikan apabila suatu perusahaan memiliki kewenangan penuh terhadap anak perusahaan holding.
Sementara saham dwi warna (pemerintah) pada anak perusahaan holding menyebabkan induk perusahaan holding tidak memiliki otoritas penuh terhadap anak perusahaan. Hal ini yang menjadi ganjalan.
Pada bagian lain, jika pemerintah mencabut saham dwi warna pada anak perusahaan holding, maka pemerintah terkena delik privatisasi BUMN.
Baca juga: PP Holding Migas Tunggu Paraf Jokowi
Sebagaimana diketahui, melalui PP Nomor 47 Tahun 2017, pemerintah telah membentuk holding BUMN industri tambang dengan mengalihkan saham pemerintah dari PT Aneka Tambang (Antam) Tbk sebesar 65%, PT Bukit Asam Tbk sebesar 65,02%, PT Timah Tbk sebesar 65%, kepada induk holding yakni PT Inalum (Persero)
Sementara pada bagian lain yang tak terpisahkan adalah, penggugatan UU BUMN yang terjadi belakangan ini oleh Tim Advokasi Kedaulatan Ekonomi Indonesia (Taken) dipastikan akan berimbas pada pembatalan holding jika materi tuntutan pemohon dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Putut Prabantoro selaku pemohon menuturkan bahwa UU BUMN Pasal 2 ayat 1 (a) dan (b), serta pasal 4 ayat 4 tidak sesuai dengan amanat konstitusi karena terlalu kapitalis.
"Berkaitan dengan holding BUMN, kalau tuntutan kita dikabulkan MK, pasti merembet pada holding sebagai turunan UU. Inikan nati efek domino," ujar dia.
(Dani Jumadil Akhir)