JAKARTA - Bank Indonesia (BI) diprediksi akan menaikkan suku bunga acuan atau 7 Days Reverse Repo Rate (7-Days Repo Rate) sebanyak 25 basis points (bps) pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan Agustus. Rapat yang sudah berlangsung sejak 14-15 Agustus 2018 ini diperkirakan memutuskan suku bunga ke level 5,5% dari 5,25%.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyatakan, keputusan menaikkan suku bunga acuan dilakukan Bank Sentral untuk mengurangi tekanan Rupiah dan pasar keuangan terutama yang dipengaruhi oleh risiko jatuhnya nilai tukar mata uang Turki, Lira.
"Kenaikan suku bunga acuan BI diharapkan dapat mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi sehingga dapat menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah," jelasnya kepada Okezone.
Dia menjelaskan, penguatan Dolar AS kian memukul mata uang negara-negara di dunia, terlebih pada Lira pasca Presiden AS Trump mengumumkan kenaikan impor tarif bagi produk Turki yakni besi dan alumunium. Meningkatnya ketegangan antara Turki dan AS memperburuk kondisi perekonomian Turki yang mengalami pelemahan.

Hal ini terlihat dari pelebaran defisit transaksi berjalan menjadi 6,3% terhadap PDB pada kuartal I tahun ini, diikuti juga oleh kenaikan inflasi yang mencapai 15,85% yoy. Pelemahan Turki Lira tersebut mendorong pelemahan mata uang Euro mengingat beberapa bank di kawasan Eropa memiliki eksposur pada Lira.
"Bukan hanya berdampak pada mata uang negara maju, anjloknya Lira juga memberikan kekhawatiran dan sentimen negatif bagi pasar keuangan negara berkembang, termasuk pasar keuangan domestik (Indonesia)," katanya.
Sejak akhir Juli hingga hari ini, Rabu (15/8/2018), Lira tercatay melemah 23,2%, Argentina Peso terdepresiasi 7,7%, Rand Afrika Selatan juga terkoreksi 7,6%, sementara Rupiah melemah sekitar 1,4%.

Di sisi lain, kondisi perekonomian Indonesia dinilai relatif lebih kuat dari Turki dan negara berkembang lainnya. Khususnya jika dilihat dari tingkat utang luar negeri jangka pendek yang relatif rendah, cadangan devisa yang jauh lebih kuat dibandingkan kondisi tahun 1998 serta 2008.
"Meski perekonomian Indonesia cenderung tidak memiliki eksposur yang besar pada perekonomian Turki, namun krisis kurs Lira berpotensi mempengaruhi mata uang negara berkembang lainnya," jelasnya.
Sementara itu, Ekonom BCA David Sumual juga menilai kenaikan suku bunga acuan ke level 5,5%. Bukan hanya tekanan dari Turki, namun juga didorong defisit transaksi berjalan(current account deficit/CAD) yang kian melebar.
Bank Indonesia (BI) mencatat CAD kuartal II-2018 mencapai USD8 miliar atau 3,0% dari PDB. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal sebelumnya sebesar USD5,7 miliar atau 2,2% dari PDB.
"Defisit transaksi berjalan yang 3% dari PDB melebihi ekspetasi," jelasnya.