Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran (Unpad) yang juga Peneliti Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia, Ina Primiana menjelaskan, strategi pemerintah untuk menguatkan hilirisasi di sektor industri pengolahan sawit merupakan salah satu solusi dalam menghadapi pelarangan impor sawit Indonesia ke beberapa negara Uni Eropa.
“Jadi, industri hilir yang bertugas untuk mengolah sawit di dalam negeri harus bisa menghasilkan produk olahan sawit dalam bentuk yang berbeda untuk memperluas pasar ekspor,” tuturnya.
Dia menjelaskan, harga CPO yang dijual mentah hanya senilai USD800-1.000 per ton atau setara Rp14,5 juta. Namun, jika minyak sawit itu diolah untuk kebutuhan produksi minyak goreng, harganya akan bertambah menjadi USD1.000-1.400 per ton atau setara Rp20,3 juta.
Sementara itu, peningkatan nilai tambah lainnya, jika minyak sawit diolah untuk menjadi gliserin, asam lemak, fatty alcohol, methylester, itu harganya bisa mencapai USD1.400-2.000 atau setara Rp29 juta. Kemudian, jika minyak sawit diolah untuk kebutuhan surfaktan, sabun logam, lubrikan alami, resin azelat, biopoliol, dan asam dimer, akan memiliki harga hingga USD2.000-3.000 atau setara Rp43 juta.
“Bahkan, jika minyak sawit diolah untuk kebutuhan kosmetik, sabun, detergen biodisel, obat-obatan, pelumas, biodisel, pelumas sampai cat, harganya mampu menembus USD3.000-4.000 atau setara Rp58 juta,” jelasnya. (Oktiani Endarwati)
(Dani Jumadil Akhir)