JAKARTA – Pemerintah berencana mengatur harga rumah subsidi yang dikhususkan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Nantinya harga rumah subsidi tersebut diyakininya akan lebih rendah dibandingkan saat ini.
Direktur Evaluasi Bantuan Pem biayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Arvi Argiantoro mengatakan, saat ini pihaknya sedang menyusun aturannya yang akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Permen - PUPR). Permen ini rencananya akan dikeluarkan pada November mendatang. Aturan ini nantinya akan menggantikan Peraturan Menteri Keuangan yang akan habis pada tahun ini. Sementara aturan baru ini akan berlaku selama lima tahun ke depan atau habis pada 2024 mendatang.
“Harga rumah subsidi. Sekarang kan harga rumah subsidi berdasarkan PMK dan Permen - PUPR, itu berlaku sampai 2018. Nanti 2019 sampai 2024,” ujarnya dalam acara diskusi Indonesia Housing & Creative Forum, bertajuk “DP KPR 0 Rupiah Dongkrak Kebangkitan Properti Generasi Milenial” di Jakarta kemarin, Selasa (4/9/2018).
Lewat aturan baru ini, nantinya harga rumah subsidi akan lebih detail lagi. Sebab, harga rumah subsidi khusus MBR ini akan terbagi lagi menjadi dua golongan.
“Nanti kita coba beda kan kelas dari MBR karenakan MBR ada MBR yang bawah, ada yang tengah ada atas. Nanti akan kita buat rumah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu,” katanya.
Menurut dia, alasan harga rumah subsidi akan dibedakan kembali karena ada beberapa kelas masyarakat yang masih sulit memiliki rumah. Meskipun harga Rp140 juta sudah cukup terbilang murah. Sebab, pendapatan masing-masing kategori MBR tidaklah sama. Bahkan ada beberapa yang masuk ka tegori MBR justru memiliki gaji di bawah upah minimum regional (UMR).
“Karena kemampuan mereka beda-beda. Sekarang kan masih dibuat satu harga. Makanya golongan MBR bawah belum bisa manfaatkan ini,” jelasnya.
Ada beberapa skema yang sudah pihaknya siapkan. Pertama adalah skema khusus MBR menengah yang nantinya akan dipisahkan. Masyarakat menengah yang dimaksud adalah seperti generasi milenial yang menurutnya sudah memiliki penghasilan yang cukup. Sementara untuk harganya tentu akan jauh lebih mahal dibandingkan MBR kelas bawah. Sebab, luas rumahnya juga nanti akan dibedakan.
“Mungkin nanti itu bisa masuk dalam MBR. Nanti harganya lebih besar dan dibuat rumah sejahtera. Tipenya akan lebih besar dari rumah subsidi luasnya 45 meter persegi,” katanya.
Sementara untuk kelas bawah nantinya akan memiliki harga di bawah dari harga rumah subsidi yang sekarang, yakni di kisaran Rp140 juta. Namun dengan konsekuensi yang luas rumahnya juga jauh lebih kecil dibandingkan MBR kelas menengah.
“Bisa lebih rendah untuk yang MBR bawah. Dan itu tipe rumahnya inti, bisa tumbuh, ukurannya kecil, tapi bisa dikembangkan. Seiring penghasilan mereka bertambah bisa di kembangkan rumahnya,” jelasnya.
Masalah backlog masih menjadi masalah utama dari penyediaan perumahan di Indonesia. Menurut dia, angka backlog dalam beberapa tahun belakangan terus mengalami kenaikan hingga 800.000 untuk setiap tahunnya.
Managing Director SPS Group Asmat Amin menyarankan agar dalam lima tahun ke depan pemerintah membuat program pembangunan rumah bagi MBR tersendiri yang lebih masif, terstruktur, dan terencana guna mengatasi persoalan tersebut. Sebab menurutnya, MBR bisa menjadi sebuah solusi untuk mengurangi angka backlog.
“Bagi pemerintah, mem perkecil angka backlog rumah bukanlah perkara mudah. Karenanya, seluruh elemen bangsa harus bahu-membahu membantu merealisasikan pembangunan sejuta rumah,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga harus berani menawarkan insentif yang menarik bagi dunia usaha sehingga developer, baik BUMN maupun swasta dengan sendirinya berbondong-bondong membangun hunian terjangkau bagi MBR.
“Masalah yang ada saat ini adalah hampir semua developer enggan membangun hunian murah, lantaran belakangan ketersediaan tanah untuk pengembangan hunian MBR di sejumlah wilayah strategis sudah semakin langka. Kalaupun ada, pasti harganya sudah selangit yang sulit di jangkau oleh pengembang. Apa lagi bila skala bisnis mereka kecil,” jelasnya.
Asmat Amin memaklumi, keengganan developer membangun hunian bagi MBR tidak terlepas dari sejumlah insentif dari pemerintah, seperti skema FLPP (fasilitas likuiditas pembiayaan properti) dan subsidi bunga kredit hunian belum mampu meningkatkan minat dunia usaha sektor properti. Selain itu, ketentuan harga unit dan luasan rumah subsidi yang cenderung sama di tiap-tiap wilayah, di mana masing-masing di patok Rp140 jutaan dan Rp7,8-8 juta per meter persegi.
Menurut dia, ketentuan itu terbilang sulit dan tidak relevan lagi dengan kondisi bisnis saat ini. Sebab, pada praktiknya para pengembang kerap kesulitan melakukan hitung-hitungan bis nis pengembangan proyek hunian MBR dengan keuntungan yang wajar.
(Okezone/ Rakhmat Baihaqi)
(Kurniasih Miftakhul Jannah)