JAKARTA – Industri makanan dan minuman (mamin) masih berperan besar terhadap ekonomi nasional. Pada kuartal III-2018 industri berbasis konsumen itu terakselerasi hingga 8% year on year (yoy). Meski begitu, masih ada sejumlah tantangan bagi industri makanan dan minuman ke depan.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, Indef memproyeksikan industri makanan dan minuman tumbuh sekitar 8,5% (yoy) pada tahun depan.
Meski ada peluang lewat pesta demokrasi, tapi secara fundamental belum mampu mendorong pertumbuhan ke level lebih tinggi.
“Industri makanan dan minuman menjadi sektor yang kami harapkan bisa terdorong dari kontribusinya yang besar bagi ekonomi nasional,” ujarnya di Jakarta.
Baca Juga: Industri Makanan dan Minuman Diramal Jadi Andalan Penopang Ekonomi Nasional
Menurut Eko, tahun depan tantangan yang dihadapi industri makanan dan minuman masih kompleks. Bagi industri makanan dan minuman yang berorientasi ekspor, perlambatan ekonomi dunia akan memengaruhi permintaan dari negara tujuan ekspor.
Kemudian pengaruh nilai tukar Rupiah terhadap industri makanan dan minuman melalui bahan baku/penolong impor.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) Adhi S Lukman masih optimistis industri makanan dan minuman masih bisa tumbuh di angka 8-9% pada 2019. Pertumbuhan itu masih didorong oleh konsumsi domestik.
“Dalam setahun, jumlah penduduk Indonesia naik sekitar 4 juta orang. Itu harus disediakan makan sehingga menjadi pasar baru bagi industri makanan dan minuman.
Baca Juga: Gara-Gara Rupiah, Harga Makanan dan Minuman Naik
Kedua, lifestyle semakin banyak berubah menjadi kota besar,” ujarnya. Menurut Adhi, meski ada pesta demokrasi tahun depan, diperkirakan konsumsi makanan dan minuman tidak sebesar 2014 karena bergesernya metode kampanye.
Adhi menuturkan, tantangan tahun depan juga datang dari kenaikan suku bunga yang berdampak pada biaya pinjaman.
“Ekspansi ke hulu butuh modal besar sehingga kalau bunganya mahal otomatis tidak ada investasi di hulu. Ujungnya, bahan baku hilirnya impor lagi,” tuturnya.
Adhi menambahkan, dampak perang dagang juga berpotensi industri makanan dan minuman akan kebanjiran produk dari China. Untuk itu, daya saing industri di dalam negeri harus diperkuat untuk menghadapi barang impor.
Fluktuasi nilai tukar Rupiah juga diperkirakan masih akan berlanjut tahun depan. Menurut Adhi, pelaku usaha industri makanan dan minuman berencana meninjau proyeksi ini dan menaikkan harga sekitar 5% tahun depan.
(Dani Jumadil Akhir)