Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Bahaya Inflasi Tinggi dan Tak Bisa Dikendalikan

Koran SINDO , Jurnalis-Senin, 04 Februari 2019 |11:10 WIB
Bahaya Inflasi Tinggi dan Tak Bisa Dikendalikan
Ilustrasi: Foto Halo Money
A
A
A

JAKARTA - Tingkat perubahan harga yang direfleksikan melalui inflasi masih menjadi salah satu variabel makroekonomi yang pencapaiannya sangat ingin tidak jauh dari kisaran target.

Alasan sederhananya karena inflasi menggambarkan secara ringkas kinerja pasar keuangan dan sektor riil secara sekaligus. Dalam tautan lainnya, inflasi menunjukkan berapa kemampuan produksi, efektivitas sistem distribusi/ logistik, dan tingkat daya beli masyarakat.

Tingkat inflasi pada Januari sebagai pembuka kinerja pada 2019 telah diumumkan dan capaian inflasi pada periode ini sangat baik dengan realisasi sebesar 0,32% (mtm) atau 2,82% (yoy) bila dibandingkan periode Januari 2018. Tren inflasi Januari dalam 3 tahun terakhir juga semakin baik seiring dengan semakin rendahnya angka inflasi. Periode Januari 2017 tingkat inflasinya mencapai 0,97% (mtm).

 Baca Juga: Harga Beras hingga Tiket Pesawat Jadi Penyumbang Inflasi Januari

Adapun pada periode Januari 2018 angka in flasi sebesar 0,62% (mtm). Sebagian besar daerah yang menjadi wilayah pengamatan indeks harga konsumen (IHK) mengalami inflasi, yakni 73 kota dari 82 kota IHK. Adapun sisanya mengalami deflasi. Inflasi tertinggi berada di Tanjung Pandan dengan realisasi sebesar 1,23%, sedangkan untuk deflasi tertinggi terjadi di Tual dengan capaian 0,87%.

Hal ini menggambarkan betapa semakin baiknya keseimbangan antara supply dan demand pada komoditas yang menjadi reflektor inflasi. Mungkin sebagian dari kita masih sering bertanya bahayanya apa sih jika terjadi inflasi tinggi?

Secara empiris akan sangat berbahaya jika inflasi tidak mampu dikendalikan, apalagi jika inflasi jauh tinggi di atas target, hal itu akan berdampak pada ekspektasi masyarakat terhadap pasar.

Ada dua hukum kausalitas yang menjadi patron penggerak inflasi, yakni permintaan yang menarik inflasi (demand pull inflation) dan harga yang menekan inflasi (cost push inflation).

 Baca Juga: Jaga Harga, Inflasi Makanan Terendah Sejak 2014

Nah, dari sini ada dua kata yang membuat pergerakan inflasi cenderung volatile, yakni permintaan dan harga. Saat permintaan terhadap suatu komoditas cenderung meningkat, sedangkan stok yang ada relatif stagnan, tentu hal itu akan mendorong gerakan harga yang tak terkendali dan cenderung naik terus.

Kondisi ini akan berdampak pada ekspektasi masyarakat yang menjurus pada aksi borong, terutama oleh pelaku yang memiliki pendapatan di atas rata-rata. Inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat terus turun sehingga standar hidup dan daya beli dari masyarakat terimbas (turun) dan pada akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.

Begitu juga sebaliknya, pada saat produksi barang cenderung meningkat karena faktor-faktor tertentu, sedangkan tingkat permintaannya relatif stagnan, harganya akan kolaps karena adanya oversupply.

 Baca Juga: Inflasi Januari 0,32%, Menko Darmin: Cukup Baik

Dan saat ini sedang terjadi kondisi oversupply pada beberapa komoditas pertanian sayur dan buah (cabai, buah naga, sayur kol) sehingga harganya jauh dari ekspektasi pelaku usahanya. Beberapa kelompok petani sudah melakukan aksi ngambek karena tidak puas dengan mekanisme yang ada.

Simulasi seperti ini yang sangat tidak kita harapkan karena cenderung mendistorsi kestabilan pasar. Logika sederhananya, menjaga inflasi sebenarnya berbicara tentang menjaga ekspektasi masyarakat. Perkembangan inflasi sangat dibutuhkan masyarakat karena baik pelaku usaha maupun masyarakat selaku konsumen membutuhkan adanya kepastian dan kestabilan harga.

Halaman:
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement