Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Startup Global Berjaket Lokal

Koran SINDO , Jurnalis-Minggu, 10 Februari 2019 |13:30 WIB
Startup Global Berjaket Lokal
Ilustrasi: Shutterstock
A
A
A

JAKARTA - Dalam kurun tiga tahun terakhir, pembicaraan ekonomi digital kian booming. Hampir setiap hari masalah digital, disrupsi teknologi hingga revolusi industri 4.0 menjadi pembicaraan di seminar, talk show hingga kegiatan-kegiatan akademis.

Hampir semua pihak yang berkaitan menganggap bahwa era digital menjadi era bagi masyarakat dan ekonomi negara. Dunia saat ini sudah masuk era digital yang ditandai dengan membanjirnya platform platform baru dari platform bisnis, investasi hingga pendidikan.

Selain disambut dengan euforia, perkembangan industri digital ini juga disikapi dengan waswas. Alasannya revolusi yang berbasis digital tersebut secara langsung mengancam sejumlah pekerjaan akibat rontoknya berbagai perusahaan sebagai dampak otomatisasi dan digitalisasi. Jumlah pekerjaan terdampak sangat banyak. Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) memperkirakan 75 juta pekerjaan hilang.

Baca Juga: Dominasi Investor Asing Hambat UMKM Lokal

Prediksi banyaknya pekerjaan yang terancam otomatisasi dan digitalisasi juga telah disampaikan Mckinsey Global Institute. Dalam studi terbarunya lembaga itu bahkan memperkirakan sekitar 800 juta pekerja di seluruh dunia akan kehilangan pekerjaan pada 2030.

Sebelumnya, World Economic Forum September lalu merilis laporan bertajuk Future of Jobs Report 2018. Perusahaan seperti Google dan Apple telah mengubah bisnis musik hingga komunikasi, Amazon mengubah pasar ritel, dan Uber mengubah industri taksi.

Tak hanya itu, industri media massa pun tertatih-tatih mendapat gempuran dari perusahaan perusahaan itu. Menurut para pakar, dengan teknologi baru, perusahaan dapat meraup laba lebih besar. Namun tidak demikian dengan sebuah negara dan masyarakatnya.

Tengok saja ekspansi Google, Facebook, Amazon, dan Alibaba di negara-negara berkembang. Raksasa-raksasa teknologi ini berhasil untung besar. Pada 2017 lalu Google menjadi pembicaraan karena menolak diperiksa mengenai kewajiban membayar pajak.

grafik

Padahal, sebagaimana data dari Ditjen Pajak, Google terdaftar sebagai badan hukum dalam negeri di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tanah Abang Tiga dengan status penanaman modal asing (PMA) sejak 2011. Artinya Google wajib membayar pajak.

Bahkan pemerintah Indonesia sampai mengancam bakal membawa kasus pajak Google ke pertemuan internasional. Dengan opsi akan dibentuk forum khusus untuk menyatukan persepsi mengenai pajak perusahaan over the top (OTT). Google pun menyerah dan mau membayar pajak.

Kini ekspansi raksasa-raksasa teknologi itu semakin masif. Tak puas melahap kue iklan digital, kini mereka merambah ke segala aspek bisnis. Pada November 2018, Softbank Vision Fund memimpin pendanaan untuk Tokopedia sebesar USD1,1 miliar.

Pendanaan ini dipimpin SoftBank Vision Fund dan Alibaba Group dengan partisipasi Softbank Ventures Korea serta investorinvestor Tokopedia sebelumnya. Tak hanya Tokopedia, Gojek juga mendapat dana segar dari Alphabet, induk usaha Google, juga China Meituan-Dianping.

Investor lain Gojek adalah KKR dan Co LP dan Warburg Pincus LLC. Masih ada startupstartup lain yang mendapat suntikan dana dari korporasi asing. Lantas apakah perusahaan rintisan itu masih bisa disebut sebagai perusahaan nasional dan harus mendapatkan karpet merah dari pemerintah? Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Rudiantara yang dihubungi KORAN SINDO menilai, hal itu sangat baik bagi terciptanya saling du kung antarsesama startup karya anak bangsa.

Khusus mengenai industri media massa, Rudiantara menilai, industri ini masih menjadi sumber informasi tepercaya bagi masyarakat. Rudiantara mengutip Edelman Trust Barometer Global Report 2018 yang menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap platform pada tahun ini turun 2 poin menjadi 51% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 53%.

Sementara itu kepercayaan masyarakat terhadap jurnalis atau media konservatif dan media online yang dapat dipercaya pada 2018 justru mengalami kenaikan 5 poin menjadi 59% dari sebelumnya hanya 54%.

grafik

Publik mulai jenuh terhadap masifnya berita bohong yang banyak berseliweran di akun media sosial dan lebih memilih mencari berita dan informasi dari media yang dapat dipercaya. “Media massa masih akan berkembang pesat, hanya salah satu pemasukan yang biasa dari iklan menurun,” ungkapnya.

Sebab, menurutnya, cara memasang iklan kini sudah berubah, banyak yang sudah masuk ke jalur online . Rudiantara menjelaskan, platform digital sangat tersegmentasi sehingga dapat diatur sesuai dengan keinginan.

“Iklan di TV tidak bisa ditentukan untuk siapa, hanya bisa diatur dari segi geografis, tetapi secara demografis tidak bisa. Tidak bisa iklan ini hanya dilihat oleh generasi milenial saja, oleh perempuan saja. Di digital semua sangat mungkin,” ungkapnya.

Ekspansi perusahaan digital kini sudah merambah media massa. Di level global, startup raksasa Alibaba konon berinvestasi di Washington Post. Di Tanah Air, Gojek memberikan investasi kepada salah satu startup media online .

Investasi tersebut melalui lembaga investasi milik mereka, yakni Go-Ventures. Chief Corporate Affairs GoJek Nila Marita tidak menyebut secara pasti nominal investasi tersebut. Namun dia menegaskan akan ada beberapa kolaborasi strategis yang akan dilakukan media online tersebut demi mendukung perkembangan teknologi di Indonesia.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Firdaus menjelaskan, totalitas digitalisasi kehidupan sudah tidak dapat lagi dibendung. Startup butuh mitra ekspose tepercaya sehingga media mainstream menjadi pilihan. Hal yang harus tetap dilakukan ialah kerja keras agar nilai-nilai jurnalistik tetap mendapat tempat di era digital.

Firdaus yakin, media mainstream akan terus eksis. Sebab realitas bahwa manusia tidak akan bisa dipisahkan dari kebutuhan informasi membuat media massa itu akan terus hadir dari segala bentuk dan nilainilainya. “Tuntutan adaptasi dengan dunia digital tak mungkin lagi dihindarkan. Harus menyesuaikan dengan tantangan dan kebutuhan,” ujarnya.

Sekjen Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat Asmono Wikan juga menilai baik investasi perusahaan digital kepada media massa.

Diharapkan hal itu tidak mengubah, tetapi justru memperkuat. “Jangan sampai nanti malah berubah menjadi startup ecommerce ,” ujarnya. Sebagai bagian dari media cetak yang sudah diprediksi bakal tutup, Asmono mengatakan, tidak akan ada yang dapat memastikan usia media cetak.

grafik

Meskipun nantinya jumlah halaman di media cetak semakin sedikit, kualitas jurnalisme di dalamnya tidak akan punah. “Ini malah dapat menjadi pembuktian kepada publik bahwa kualitas jurnalisme media cetak lebih terjamin. Digital tidak membunuh koran, hanya menyudutkan, tetapi membuat pelaku media cetak berkreativitas lebih,” ungkapnya bersemangat. Proteksi dari pemerintah, diakui Asmono, tidak ada. Namun sejumlah pelaku media cetak tidak ingin mengemis kepada pemerintah untuk meringankan pajak misalnya.

Mereka hanya ingin kompetisi yang adil dengan sesama kompetitor, khususnya platform asing. SPS meminta pemerintah tidak memberi ruang keleluasaan bagi platform asing dengan tidak membayar pajak. “Padahal platform sudah mengambil konten kami, harusnya diberlakukan pajak yang sesuai. Atau pajak dari mereka dapat juga digunakan untuk membantu jurnalisme di Tanah Air,” jelasnya. Pajak yang dibayarkan para platform asing seperti Google, Youtube, Facebook, Instagram, Twitter dan lainnya dapat dikembalikan kepada masyarakat melalui sisi pers.

Asmono menginginkan, pajak tersebut dapat dipakai untuk membangun iklim pers yang lebih sehat. Dapat juga digunakan untuk mencari model bisnis baru pada media mainstream. “Bisa juga beberapa persen dari pajak platform digunakan atau ditukar dengan edukasi kepada media mainstream di Indonesia. Saling bersinergi, sebab mereka juga mengambil konten dari kami, mereka juga harus turut membantu mencetak SDM,” sebutnya.

Daniel Tumiwa, pengamat digital menilai, semua berhak untuk berinvestasi ke berbagai sektor, termasuk media massa.

Terlebih di dunia digital berbasis internet yang dapat diakses di mana pun. Platform media massa berisi informasi dari seluruh media. Kini tidak harus menjadi perusahaan media massa untuk menyediakan berita. “Sama seperti GoFood, mereka tidak terjun langsung ke restorannya. Grab juga demikian, mereka tidak langsung ke sektor transportasi. Semua punya kesempatan yang sama,” jelasnya.

Mengenai media sosial yang akan mematikan media mainstream , menurut Daniel, itu hanya tukar posisi. Kini platform seperti Youtube menjadi media sehari-hari masyarakat.

“Media mainstream hanya menjadi konten di media sosial. Kita tetap mencari kebenaran di media mainstream melalui platform sudah tidak langsung melalui TV lagi,” ujar Daniel.

(Ananda Nararya)

(Kurniasih Miftakhul Jannah)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement