JAKARTA - Mengurangi jumlah perokok memang agak sulit. Berbagai cara dilakukan pemerintah seperti menerbitkan sejumlah regulasi.
Mulai dari peraturan tentang iklan, promosi, dan sponsor oleh perusahaan rokok tembakau (Tobacco Advertisement, Promotion, and Sponsorship, TAPS), Kawasan Tanpa Rokok (KTR), hingga peraturan terkait kemasan dan label produk rokok.
Tidak seperti kebanyakan negara maju yang secara bertahap telah mengurangi jumlah perokok di negaranya masing-masing, angka perokok di negara-negara berkembang seperti Indonesia justru terus mengalami peningkatan. Kondisi ini diperkirakan akan berakibat buruk di mana lebih dari 7 juta kematian akibat rokok akan terjadi pada tahun 2030.
 Baca Juga: Daripada Beli Rokok, Mending Uangnya Dipakai Investasi
Penelitian dari Riset Kesehatan Dasar (Risdeknas) pada tahun 2013 menunjukkan bahwa sekitar 25.000 perokok pasif meninggal akibat menghirup asap rokok tembakau yang dihembuskan oleh perokok aktif. Angka ini pun hampir dapat dipastikan akan terus naik seiring meningkatnya jumlah perokok.
Inisiatif lainnya yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah kebijakan yang mewajibkan perusahaan rokok untuk menampilkan gambar-gambar bahaya rokok secara eksplisit di kemasan produknya. Meskipun regulasi tersebut sudah efektif sejak 2014, penerapannya masih dinilai kurang maksimal.
Kepala Departemen Ekonomi Universitas Indonesia Teguh Dartanto mengatakan gambar-gambar tersebut hanya menimbulkan rasa tidak nyaman, namun tidak benar-benar efektif dalam membuat perokok ingin berhenti.
Kedua inisiatif ini merupakan kebijakan yang bagus dari pemerintah dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh merokok. Namun, solusi yang lebih efektif sangat dibutuhkan.
 Baca Juga: Presiden Jokowi Teken Perpres Cukai Rokok untuk Tutupi Defisit BPJS Kesehatan
Riset yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2017 berjudul Nilai Ekonomi dan Kesehatan Tembakau di Indonesia menunjukkan bahwa merokok menyebabkan kerugian secara finansial dan sosial dalam keluarga, termasuk hilangnya produktivitas, beban ekonomi yang lebih berat, dan biaya layanan kesehatan yang lebih tinggi.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Hasbullah Thabran yang turut menyusun penelitian tersebut mengatakan ada total kerugian ekonomi.
“Total kerugian ekonomi yang disebabkan oleh hilangnya produktivitas pada tahun 2015 mencapai Rp374,06 triliun," katanya seperti dikutip keterangan tertulisnya, Jakarta, Senin (11/2/2019).
 Baca Juga: Tarif Cukai Rokok Dipastikan Tak Naik Tahun Depan
Meningkatnya jumlah perokok serta dampak negatifnya terhadap perokok pasif juga disebabkan oleh kurangnya infrastruktur kesehatan yang memadai, kurangnya kesadaran tentang bahaya merokok, serta kurangnya kebijakan yang mendukung. Hal-hal ini menjadi tantangan dalam upaya mengurangi tingkat merokok di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Follow Berita Okezone di Google News