"Kalau B to B, kita pasti akan mendapat tantangan yang berat, jadi harus G to G. Bagaimana caranya? G to G merupakan mekanisme Government to Government. G to G harus tahu misalnya Pakistan ingin ikut-ikutan melakukan diskriminasi terhadap kelapa sawit, kita mungkin bisa melakukan negosiasi dengan melakukan impor gula dari sana, asalkan sawit kita jangan terkena. Jadi memang harusnya upaya bilateral kita diperkuat," ujar Aviliani.
Untuk memperkuat upaya bilateral tersebut, lanjutnya, maka tugas duta besar saat ini harus berubah dalam rangka mencari tahu apa yang bisa digali dari negara lain dan apa yang bisa dijual oleh Indonesia.
Pada kesempatan lain, Wakil Ketua Umum II Pengurus Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Pusat, Susanto Yang mengatakan, pihaknya mendukung pemerintah yang melawan kebijakan diskriminatif terhadap CPO Indonesia oleh Uni Eropa. Meski porsi ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa hanya sekitar 3 - 4 juta ton per tahun dan hal itu tidak berdampak langsung, namun secara psikologis pasar akan berdampak pada negara lainnya.
“Kami sangat mendukung sikap pemerintah tidak tunduk dan melawan kebijakan diskriminatif Uni Eropa yang tetap berkukuh dengan keputusannya untuk menurunkan penggunaan bahan bakar berbasis CPO secara bertahap hingga 2030,” ujarnya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)