JAKARTA - Pengguna transportasi daring kini bersiap menghitung kembali biaya perjalanannya. Jika dalam 2-3 tahun terakhir dimanjakan dengan biaya murah perjalanan berbasis aplikasi, kini pemerintah sudah menetapkan tarif yang sama untuk seluruh pengguna jasa ojek online.
Peraturan Menteri Perhubungan No 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat (ojek online ) mulai berlaku pada 1 Mei 2019 mendatang.
Kita bisa menghitung berapa tarif baru ini, contoh di Ibu Kota yang termasuk di zona II. Zona II meliputi wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, tarif batas bawahnya sebesar Rp2.000 dan tarif batas atasnya Rp2.300 per kilometernya.
Baca Juga: Tarif Ojek Online Resmi Diumumkan, Ini Reaksi Asosiasi Driver
Dengan demikian biaya minimalnya Rp8.000-10.000 per 4 km. KORAN SINDO menghitung besarnya tarif jika penumpang ingin pergi ke kawasan Senayan dari Stasiun Cawang. Jarak yang harus ditempuh 8 km, jika menggunakan tarif baru penumpang harus merogoh kocek hingga Rp20.000.
Bila masih menggunakan tarif ojek online, sekarang dikenai tarif Rp17.000 berarti naik sebanyak Rp3.000. Bandingkan jika menggunakan transportasi umum lain, sebut saja Transjakarta yang memang ada jalur yang melewati kedua wilayah ini.
Ongkos Transjakarta hanya Rp3.500 memang lebih murah tidak ada setengahnya dari tarif menggunakan ojek online . Namun jika dilihat dari sudut pandang kecepatan dan kemudahan jelas ojek online juaranya.
Dari Cawang untuk sampai ke Senayan jika menggunakan Transjakarta jurusan PGC/Pinang Ranti-Grogol harus melewati Jalan Gatot Subroto yang terkadang macet. Belum lagi penumpang harus transit dulu di Halte JCC berjalan di halte Transjakarta yang lumayan jauh untuk sampai di Halte Bendungan Hilir untuk naik Transjakarta jurusan Harmoni-Blok M.
Baca Juga: Tarif Ojek Online Ditetapkan, Grab Sebut Dampaknya Merugikan Masyarakat
Namun jika bepergian setiap hari tentu masyarakat akan lebih memilih Transjakarta. Mengeluarkan biaya sebesar Rp20.000 untuk sekali perjalanan tentu menjadi hal yang patut diperhitungkan bagi para penumpang.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi mengatakan, setiap aplikator wajib ikut aturan yang ditetapkan pemerintah. Selanjutnya Kemenhub juga akan menyoroti masalah asuransi yang harus dimiliki untuk melindungi penumpang dan pengendara.
“Minggu depan baru kami akan bahas secara teknis untuk menjalin kerja sama dengan pihak asuransi,” ungkapnya. Selain itu Kemenhub juga akan mengawasi pelaksanaan peraturan ini. Setelah berdiskusi dengan kedua belah pihak, peraturan ini dijalankan mulai 1 Mei 2019.
Baca Juga: Menhub Teken Keputusan Besaran Tarif Ojek dengan Aplikasi, Ini Detailnya!
Budi menyatakan akan bekerja sama dengan lembaga riset untuk mengawasi pelaksanaan tarif baru tersebut. “Kami tegas meminta lembaga riset yang independen untuk mengawasi kalau ada yang tidak sesuai langsung diurus Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),” ujarnya.
Namun meski peraturan baru mengenai tarif ojek online belum memiliki kekuatan hukum tetap, faktanya tarif ojek online sudah melambung tinggi. Contohnya untuk jarak 2 km pada pukul 23.00 WIB mencapai Rp11.000 atau Rp5.500 per kilometer.
Tarif ojek online yang tinggi membuat Sumardi, 38, memutuskan untuk menggunakan transportasi konvensional seperti TransJakarta maupun taksi konvensional. “Saya pernah order taksi online, dari kantor ke rumah jam 4 sore, sangat mahal,” tegasnya.
Dia menyebutkan, sesuai dengan aplikasi, jarak antara kantornya di Patra Jasa ke rumahya di kawasan Gandaria hanya 6,8 km. Namun ongkos yang harus dia bayar mencapai Rp120.000. “Saat itu kondisi seusai hujan, tapi apakah ada aturan jika kondisi tertentu tarif taksi online bisa seenaknya,” paparnya.
Sumardi mengaku, saat ini lebih suka menggunakan taksi konvensional. Selain lebih murah, bisa dipesan di mana saja tanpa harus menunggu lama. “Pengemudinya juga tahu rute, jadi lebih cepat sampai di tujuan,” paparnya, Hal senada diungkapkan Tatang, 51, seorang pengemudi taksi konvensional yang bekerja sama dengan aplikator taksi online.
Dia bercerita, saat mengantarkan penumpang dari Kemayoran ke Bandara Soekarno-Hatta, penumpang harus membayar lebih mahal jika memesan menggunakan layanan penyedia aplikasi online. “Tarif di argo mobil saya Rp130.000, sedangkan tarif di aplikasi Rp245.000.
Penumpang harus membayar sesuai aplikasi karena dia memesan menggunakan aplikasi. Kasihan juga sih,” tegasnya. Untuk rute pendek pun tarif taksi dengan menggunakan aplikasi online lebih mahal. Contohnya perjalanan antara Jalan Oto Iskandar Dinata di Jakarta Timur ke Harmoni Jakarta Pusat jika menggunakan taksi konvensional Rp55.000, tetapi jika menggunakan aplikasi biayanya Rp100.000.
“Dengan kondisi lalu lintas normal, penumpang membayar lebih murah. Saya kasihan kalo penumpang harus bayar berlipat-lipat,” papar Tatang. Pemerintah telah menetapkan aturan batas bawah dan atas tarif taksi online disesuaikan dengan mengacu Peraturan Menteri Perhubungan No 26 Tahun 2017.
Dengan ketentuan tersebut, sejatinya tarif taksi online hampir sama dengan yang konvensional. Dalam ketentuan tarif tersebut, ditetapkan wilayah pertama terdiri atas Pulau Sumatera, Bali, dan Jawa dengan tarif bawahnya sebesar Rp3.500 per kilometer, sementara tarif batas atasnya Rp 6.000.
Adapun wilayah dua adalah Pulau Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi, dan Papua dengan tarif batas bawah Rp3.700 dan batas atas Rp6.500. Tarif perjalanan taksi konvensional, buka pintu sebesar Rp 6.500 dan tarif per kilometernya Rp4.100 dan Rp3.800 per kilometer.
Sementara taksi onlinemenetapkan tarif batas bawah Rp3.500 per kilometer hingga Rp4.000 per kilometer. Bedanya, pada jam sibuk, dan jika jumlah permintaan tinggi dan armada yang tersedia sedikit hingga cuaca di suatu wilayah memburuk, tarif melambung tak terkendali.
Pemerintah pun tidak melakukan pengawasan terhadap hal ini. Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sepakat jika adanya regulasi ojek online dengan menaikan tarifnya, hal tersebut harus menjamin adanya peningkatan pelayanan, khususnya dari aspek keamanan dan keselamatan.
“Aspek ini menjadi sangat krusial karena pada dasarnya sepeda motor adalah moda transportasi yang tingkat aspek safety dan security -nya paling rendah,” ucapnya serius. Dia menambahkan, kenaikan tarif juga harus menjadi jaminan untuk turunnya perilaku yang ugal-ugalan pengemudi ojek online tidak melanggar rambu lalu lintas, tidak melawan arus sehingga bisa menekan lakalantas.
“Regulasi yang baru ini seharusnya sudah termasuk di dalamnya adanya asuransi bagi pengguna ojek online seperti asuransi dari PT Jasa Raharja,” sarannya. Masalah keselamatan juga menjadi perhatian pengamat transportasi Djoko Setijowarno.
Peraturan ini diharapkan mampu mengubah perilaku pengemudi. Aplikator juga seharusnya dapat terus membimbing dan mengawasi perilaku pengemudi. Ojek online menurutnya juga akan kalah bersaing jika angkutan umum melakukan penetrasi ke wilayah perumahan dan menawarkan tarif murah.
Untuk di daerah juga seperti itu, jika angkutan umum diperbaiki dan lebih didekatkan dengan masyarakat juga sistem yang diubah. Masyarakat akan kembali beralih menggunakan angkutan konvensional.
“Sistem Jak Lingko seperti di Jakarta bisa diterapkan di daerah. Pengemudi tidak mengejar setoran sesuai dengan waktu dia jalannya sehingga tidak ada yang mengetem yang pasti membuat masyarakat kembali memilih naik angkot. Di daerah saya rasa lebih cepat berubahnya,” jelasnya.
Saat ini sudah ada lima kota yang bersedia sistem angkotnya dibenahi dan dibuat seperti Jak Lingko. Daerah tersebut ialah Medan, Palembang, Solo, Denpasar, dan Sorong. Tarif angkutan online yang semakin mahal membuat pihak lain terus berupaya menarik minat masyarakat untuk kembali menggunakan angkutan umum massal.
Badan Pengelolaan Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menggunakan Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ) yang dikeluarkan Presiden tahun 2018 lalu untuk penanganan sarana transportasi, khususnya di Jabodetabek.
RITJ menargetkan membangun sistem transportasi perkotaan yang terintegrasi di seluruh Jabodetabek berbasiskan angkutan umum massal. Sistem transportasi yang akan diwujudkan nantinya akan lebih banyak memindahkan orang daripada memindahkan kendaraan karena berbasis angkutan umum massal.
Di dalam penjabarannya RITJ telah secara jelas menggambarkan bagaimana sasaran harus tercapai pada akhir implementasi pada 2029. Dari sisi pergerakan orang disebutkan bahwa 60 % pergerakan orang harus menggunakan angkutan umum massal perkotaan.
“Sementara itu waktu perjalanan rata-rata menggunakan angkutan umum massal maksimal 1 jam 30 menit dari tempat asal ke tujuan dengan perpindahan moda dalam satu kali perjalanan maksimal 3 kali.
Untuk itu kecepatan rata-rata kendaraan angkutan umum perkotaan pada jam puncak minimal 30 km/jam,” ungkap Budi Rahardjo Kepala Bagian Humas BPTJ. Dari sisi aksesibilitas juga disebutkan bahwa cakupan layanan angkutan umum perkotaan harus mencapai 80% dari panjang jalan dan setiap daerah harus mempunyai jaringan layanan lokal/pengumpan (feeder ) yang diintegrasikan dengan jaringan utama melalui satu simpul transportasi perkotaan.
Simpul transportasi perkotaan itu sendiri harus memiliki fasilitas pejalan kaki dan fasilitas parkir pindah moda dengan jarak perpindahan antarmoda tidak lebih dari 500 meter. Demikian pula akses pejalan kaki ke angkutan umum maksimal 500 meter.
Dengan demikian masyarakat dapat beralih menggunakan angkutan umum massal daripada angkutan umum yang masih sendiri. Selain lebih murah, tentu akan mengurangi kemacetan di jalan. (Ananda Nararya)
(Dani Jumadil Akhir)