JAKARTA - Industri baja nasional tengah bersaing menghadapi gempuran baja impor dari luar negeri. Hal ini menjadi salah satu permasalahan yang harus dihadapi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS).
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim menyatakan, industri baja Indonesia memiliki ruang untuk berkembang mengingat masih rendahnya tingkat konsumsi baja yakni 52 kilogaram (Kg) per kapita per tahun. Potensi ini harus diambil oleh industri baja nasional.
Baca Juga: Soal Bisnis Baja Krakatau Steel, Jokowi Akan Terbang ke Korsel
Sebab menengok, konsumsi baja Filipina yang bahkan mampu mencapai 94 kg per kapita per tahun, Malaysia 299 kg per kapita per tahun, Singapura 488 kg per kapita per tahun, dan Korea Selatan sebesar 1,1 ton per kapita per tahun.
Sayangnya, keuangan Krakatau Steel sedang bermasalah selama tujuh tahun terakhir. Perusahaan plat merah ini sedang restrukturisasi akibat kerugian yang ditanggung sebesar USD62,32 juta hingga semester I-2019. Pada periode itu juga utangnya tercatat sebesar USD2,40 miliar.
Menurut Silmy, kondisi Krakatau Steel yang bermasalah ini bisa dimanfaatkan pihak asing untuk menguasai industri baja nasional.

"Kita juga jangan underestimate asing. Asing itu hajar dulu industrinya, ketika industri mati, seperti baja yang mulai agak sempoyongan karena utilisasinya rendah, akhirnya dia masuk dengan investasi, di beri karpet merah pula (seperti insentif investasi). Ya habis itu," ungkap dia dalam acara seminar nasional mengenai pengembangan industri manufaktur dalam negeri di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (4/9/2019).
Baca Juga: Konsumsi Baja Indonesia Kalah Jauh dari Filipina hingga Korea Selatan
Dia menjelaskan, industri baja nasional pada dasarnya tengah menghadapi faktor eksternal, yang memang sulit untuk ditepis oleh Krakatau Steel. Industri baja global menghadapi kondisi kelebihan produksi (oversupply) baja yang dilakukan oleh beberapa negara, khususnya China.
"Over suplainya China kemudian direspons pelaku industri Jepang untuk akuisisi. Sehingga konsolidasi ini membuat pengaruh kepada industri baja dalam negeri," katanya.
Kemudian, kondisi lainnya adalah dampak dari perang dagang Amerika Serikat dan China. "Masalah eksternal itu dari sisi kami tidak bisa dikontrol. Ini butuh peran juga dari pemangku kebijakan," imbuhnya.
Silmy menyatakan, Krakatau Steel tidak membutuhkan proteksi yang berlebihan dari pemerintah untuk menghadapi gempuran baja impor, namun yang diminta hanya bisnis yang fairplay alias tidak curang. Menurutnya, banyak importir yang mengakali sistem HS Code untuk terbesar dari bea masuk.

"Saat ini importir mengakali HS Code sehingga mereka terbebas dari bea masuk. Itu bisa terlihat dari impor alloy steels yang mendadak meningkat, bahan itu umumnya digunakan untuk automotif," jelas dia.
Sehingga, menurut Silmy, jika para pelaku importir bermain adil dalam bisnis, maka industri baja nasional akan mampu bersaing. Hal ini juga yang harus menjadi perhatian pemerintah sebagai pemangku kebijakan.
"Kalau tidak ada praktek-praktek yang tidak fair itu, saya rasa baja nasional bisa bersaing dengan produk luar," katanya.
(Feby Novalius)