JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Perpajakan bakal diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada pekan ini usai ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Lalu apa sih Omnibus Law Perpajakan? Berikut penjelasannya seperti dikutip akun instagram resmi Kementerian Keuangan @kemenkeuri, Jakarta, Selasa (17/12/2019)
Baca Juga: RUU Omnibus Law Perpajakan Diserahkan ke DPR Akhir Pekan Ini
Omnibus Law adalah pembentukan satu UU yang mengubah berbagai ketentuan yang diatur dalam berbagai UU lainnya. Ini artinya seluruh peraturan, ketentuan serta fasilitas perpajakan diatur dalam satu UU. Omnibus Law Perpajakan, apa yang beda?
1. Tarif PPh Badan Diturunkan
Tarif PPH Badan diturunkan dari 25% menjadi 20%. Penurunan tarif dilakukan secara bertahap sebesar 3% menjadi 22% untuk tahun 2021-2022, kemudian diturunkan lagi menjadi 20% pada 2023.
"Dilakukan bertahap karena dampak fiskalnya harus dijaga. Karena dengan penurunan itu juga menurunkan basis perpajakan kita secara signifikan," kata Sri Mulyani.
Baca Juga: Temui Puan, Sri Mulyani Jelaskan soal RUU Omnibus Law Perpajakan
2. Insentif Perpajakan Bagi Perusahaan yang Listing di Bursa
Tambahan pengurangan tarif PPh Badan sebesar 3% dari tarif normal, penurunan tarif ini berlaku selama 5 tahun setelah perusahaan tersebut go public.
Tarif normal 22% diturunkan menjadi 19% setelah insentif tahun 2021-2022. Kemudian tahun 2003 diturunkan lagi menjadi 17%.
3. Penurunan/Penghapusan Pajak Dividen
Dividen sudah tidak lagi menjadi objek pajak dalam negeri. PPh atas dividen di dalam dalam negeri dibebaskan dari pengenaan pajak.
Perusahaan Indonesia yang melakukan ekspansi ke luar negeri juga tidak dikenakan pajak.
4. Penyesuaian Tarif PPh Pasal 26
Pasal 26 atas penghasilan bunga dari dalam negeri yang selama ini diterima oleh subjek pajak luar negeri dapat diturunkan lebih renda dari tarif pajak 20% yang selama ini berlaku, diatur dalam Peraturan Pemerintah.
5. Sistem Teritorial untuk Penghasilan Luar Negeri
Penghasilan tertentu (termasuk dividen) dari luar negeri tidak dikenakan PPh sepanjang diinvestasikan di Indonesia. Jika badan usaha tetapnya di luar negeri, dividen tersebut tidak dikenakan pajak di Indonesia.
Untuk wajib pajak yang berstatus dua residence, objek pajak hanya dikenakan PPh yang berasal dai penghasilannya dari luar Indonesia tidak dikenakan mekanisme pengenaan pajak PPh pasal 26.
6. Penentuan Subjek Pajak
Warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri dari 183 hari dapat menjadi Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN). Penghasilan dari bahan usaha luar negeri tidak dikenakan pajak. Tapi penghasilan yang berasal dari Indonesia akan dikenakan PPh.
Ekspariat atau pekerja asing yang tinggal di Indonesia selama lebih dari 183 hari menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN). Dikenakan PPh hanya pada penghasilan yang diterima di Indonesia. Sedangkan penghasilan yang diterima dari luar negeri tidak dikenakan pajak.
7. Hak atas Pengkreditan Pajak Masukan
Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang membeli barang atau jasa dari pihak non-PKP dapat mengkreditkan pajak masukannya maksimal 80%.
8. Perubahan Tarif Sanksi Perpajakan
Tarif sanksi administrasi dari semula yang flat rate 2% tiap bulan, diubah menjadi mengikuti suku bunga yang berlaku.
9. Perpajakan Transaksi Digital
Sebelumnya subjek pajak harus memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) fisik atau kantor cabang di Indonesia. Pada RUU Omnibus Law, selama perusahaan tersebu beroperasu atau mendapatkan nilai ekonomi di Indonesia, maka perusahaan tersebut wajib membayar pajak.
10. Rasionalisasi Pajak Daerah
Pemerintah Pusat dapat menetapkan tarif Pajak Daerah yang berlaku secara nasional. Pemerintah Pusat dapat berikan sanksi dan batalkan Peraturan Daerah yang menghambat investasi.
(Dani Jumadil Akhir)