JAKARTA - Amerika Serikat (AS) melalui US Trade Representative (USTR).mengeluarkan Indonesia dan sejumlah negara lain seperti China, India Afrika Selatan hingga Brasil dari daftar negara berkembang.
Kini Indonesia hingga China menjadi negara maju. Tentunya akan ada dampaknya perubahan status ini. Misalnya saja dari sisi perdagangan.
Baca Juga: Indonesia Dikeluarkan dari Negara Berkembang, Ini Kata Mantan Wakil Mendag
Berikut Okezone merangkum fakta menarik AS mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang, Jakarta, Minggu (23/2/2020)
1. Sebagai Bentuk Revisi Metodologi
Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) mengatakan pengubahan klasifikasi negara ini dengan tujuan untuk merevisi metodologi dalam mengklasifikasi negara dengan ekonomi berkembang. Hal ini dikarenakan panduan sebelumnya yang dibuat pada 1998 silam 'sudah ketinggalan jaman'.
2. Klasifikasi Negara Berkembang Bantu Kurangi Kemiskinan
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) juga memiliki preferensi khusus pengkategorian negara berkembang dan negara maju. Pengklasifikasian negara berkembang bertujuan untuk membantu negara-negara miskin dalam mengurangi kemiskinan, menghasilkan lapangan kerja dan mengintegrasikan diri mereka ke dalam sistem perdagangan global.
Baca Juga: AS Coret Indonesia dari Daftar Negara Berkembang, Pengusaha Bicara Dampak ke Ekspor
Di bawah aturan WTO, pemerintah diwajibkan untuk menghentikan penyelidikan tugas countervailing jika jumlah subsidi asing de minimis, yang biasanya didefisinisikan kurang dari 1% ad valorem. Pada negara berkembang, WTO memberi standar berbeda, yakni mengharuskan penyelidik untuk menghentikan penyelidikan tugas jika jumlah subsidi kurang dari 2% ad valorem.
3. Pengusaha Angkat Bicara
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani menilai kebijakan ini berpotensi berdampak pada manfaat Generalized System of Preferences (GSP) Amerika Serikat untuk produk ekspor Indonesia.
"Manfaat Generalized System of Preferences (GSP) Amerika untuk produk ekspor Indonesia karena berdasarkan aturan internal terkait GSP, fasilitas GSP hanya diberikan kepada negara-negara yang mereka anggap sebagai Least Developed Countries (LDCs) dan negara berkembang," ujar Shinta saat dihubungi Okezone.
4. Tak Lagi Dapat GSP
Dengan dicabutnya status Indonesia sebagai negara berkembang, menurut Shinta Indonesia tidak lagi terkualifikasi sebagai penerima GSP. Dengan demikian, Indonesia akan rentan terkena tuduhan subsidi perdagangan berdasarkan subsidy and countervailing measures.
"Semua produk ekspor Indonesia akan rentan kena tuduhan subsidi perdagangan," ungkap Shinta.
GSP merupakan kebijakan untuk memberikan keringanan bea masuk terhadap impor barang-barang tertentu dari negara-negara berkembang.
5. AS Tak Konsisten Terhadap Status Indonesia
Namun menurut Shinta, keputusan AS ini menunjukkan negara tersebut tak konsisten dan menimbulkan double standard pada kebijakannya sendiri. Hal ini karena status Indonesia sebagai negara maju hanya berlaku di satu Undang Undang sedangkan pada Undang Undang lainnya yang sama-sama mengatur perdagangan tidak diterterakan.
"AS jadi tidak konsisten dan double standard dengan kebijakannya sendiri kalau status Indonesia sebagai negara maju cuma berlaku di satu UU tapi tidak di UU yang lain yang sama-sama mengatur perdagangan," ujar Shinta Kamdani.
6. Ekspor Pakaian dan Tekstil Terancam
Ekonom Indef Bhima Yudhistira menambahkan GSP ini diberikan pada negara berkembang dan miskin, kalau Indonesia tidak masuk GSP lagi, akan kehilangan daya saing pada ribuan jenis produk. Ekspor pasar AS teracam menurun khususnya sektor tekstil dan pakaian jadi yang memperlbear defisit neraca dagang.
"GSP ini diberikan pada negara berkembang dan miskin jika Indonesia tidak masuk GSP. Ekspor pasar AS terancam menurun pada tekstil dan pakaian jadi," papar Bhima.
(Dani Jumadil Akhir)