JAKARTA - Langkah pemerintah mencegah persebaran corona (covid-19) melalui rapid test menuai kritikan. Reaksi yang muncul tersebut terkait dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk keperluan tersebut.
Kondisi tersebut di antaranya disampaikan Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis di Twitter pribadinya @cholilnafis. Jika Faktanya memang demikian, bagi sebagian besar masyarakat–termasuk orang tua santri yang hendak mengantarkan sang anak ke pesantren ke lain daerah—beban tersebut tentu sangat memberatkan. Padahal rapid test menjadi syarat wajib.
Baca Juga:Â Tantangan Kelola APBN saat Corona, Sri Mulyani: Ini Peristiwa 100 Tahun Sekali
Pada temuan yang disampaikan Cholil Nafis, orang tua santri harus mengeluarkan biaya Rp400.000 untuk melakukan rapid test di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta. Beban biaya yang harus dikeluarkan bagi masyarakat yang memiliki mobilitas tinggi akan semakin membengkak karena model deteksi dini corona itu hanya berlaku tiga hari.
Dana penanganan corona yang telah digelontorkan pemerintah naik dari Rp405,1 triliun menjadi RpRp695,1 triliun. Karena itu, pemerintah harus mengevaluasi pelaksanaan rapid test, termasuk adanya kecenderungan komersialisasi rapid test.
Baca Juga:Â Kerja Full 24 Jam, Sri Mulyani Curhat Ingin Istirahat Buat Ketemu Cucu
“Kalau orang mau tes saja disuruh bayar, sementara anggaran kita banyak, apakah ini tidak lebih urgen dibandingkan lainnya? Kalau orang tidak tes, dikejar-kejar (untuk) disuruh tes. Sementara orang mau tes (malah) disuruh bayar. Ini kan paradoks sebenarnya,” ujar Cholil Nafis, dikutip dari Koran Sindo, Selasa (23/6/2020).
Dia mengingatkan, belajar dari berbagai negara yang sukses menangani Covid-19, rapid test harus dilakukan secara masif, terstruktur, dan sistematis. Karena itu, pemerintah sudah seharusnya memudahkan mereka yang ingin melakukan uji cepat itu sehingga bisa diketahui penularannya. Dengan begitu, akan diketahui mana yang perlu diisolasi, mana yang tidak.