JAKARTA - Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya mengundang seluruh operator jaringan dan layanan telekomunikasi dalam rangka sosialisasi dan koordinasi atas penilaian sewa barang milik daerah Pemkot Surabaya yang telah dilakukan oleh Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) pada akhir pekan lalu.
Dalam rapat yang dipimpin oleh Asisten Perekonomian dan Pembangunan Kota Surabaya, Dr. Ikhsan, S. Psi. MM. dan didampingi oleh perwakilan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur serta dihadiri oleh, pihak operator jaringan dan layanan telekomunikasi yang juga merupakan anggota dari Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) dan Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (APJATEL), menyatakan bahwa Pemkot Surabaya bersikukuh tetap akan menerapkan harga sewa dengan pendekatan harga pasar (komersial) bukan menggunakan pendekatan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) terhadap jaringan telekomunikasi yang melintas di seluruh wilayah Kota Surabaya.
Baca Juga: Harmonisasikan Regulasi, Apjatel Dorong Pemerintah Pusat dan Daerah
Lebih lanjut dalam presentasinya, Asisten Perekonomian dan Pembangunan Kota Surabaya, Ikhsan S memberikan contoh di jalan Raya Darmo di mana saat ini harga pasar tanah di jalan Raya Darmo mencapai Rp30 Juta per meter sehingga jika diasumsikan satu jaringan utilitas dimanfaatkan oleh 25 operator, maka pemerintah Kota Surabaya akan mengenakan harga sewa sebesar Rp13.333 per meter per tahun per operator.
Jika operator telekomunikasi memiliki kabel di sepanjang jalan Raya Darmo sepanjang 4 km, artinya setiap operator harus membayar minimal Rp53 juta per tahun. Jumlah yang harus dibayar oleh operator ini akan jauh lebih tinggi lagi ketika mereka memiliki jaringan kabel di dua ruas jalan Raya Darmo untuk keperluan back up jaringan atau memiliki jaringan di wilayah lain di kota Surabaya. Harga sewa utilitas antara satu wilayah dengan wilayah lainnya akan berbeda-beda, tergantung harga nilai pasar di wilayah tersebut.
Baca Juga: 4 Fakta Kabel Fiber Optik di Tangsel yang Kian Semrawut
Dalam sosialisasi yang dilakukan secara daring, Ikhsan juga menjelaskan bahwa operator telekomunikasi harus segera membayar sewa tersebut kepada Pemkot Surabaya. Jika tak segera membayar sewa tersebut dan setelah mendapatkan surat peringatan ketiga maka akan diproses oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan jaringan yang dimiliki operator telekomunikasi akan ditertibkan atau diputus oleh Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) Pemkot Surabaya. Sebagai informasi saat ini. Surat Peringatan pertama (SP1) telah dilayangkan oleh Pemkot Surabaya pada akhir Juli lalu ke hampir seluruh operator telekomunikasi.
Menanggapi rencana Pemkot Surabaya yang akan mengenakan tarif sewa dengan skema komersial, sangat disesalkan oleh Muhammad Arif, Ketua Umum APJATEL. Menurut Arif, operator telekomunikasi yang tergabung dalam APJATEL dan ATSI, bukan tak ingin mendukung program Pemkot Surabaya dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
“APJATEL dan ATSI akan mendukung penuh program peningkatan PAD oleh Pemkot Surabaya. Namun skema harga yang diberikan oleh Pemkot Surabaya tak masuk akal. Saat ini telekomunikasi merupakan kebutuhan utama masyarakat, sudah seperti listrik dan air. Terlebih lagi di saat pandemic COVID-19 seperti saat ini, di mana masyarakat diharuskan untuk beraktivitas dari rumah, bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH) dan belajar dari rumah atau School From Home (SFH) Telekomunikasi merupakan urat nadi perekonomian nasional,”ujar Arif dalam keterangan resmi, Rabu (12/8/2020).
“Kami meminta kepada Pemkot Surabaya agar jaringan Fibre Optic (FO) yang telah dibangun oleh penyelenggaraan jaringan telekomunikasi diperlakukan sebagai Infrastruktur Vital seperti Listrik dan Air. Mana mungkin masyarakat Surabaya saat ini bisa menjalankan kegiatannya secara online seperti melalui Zoom Webinar, Google Meeting & Class dll, apabila tidak ada FO yang kami bangun di kota Surabaya”, tegas Arif.