JAKARTA – Menteri BUMN Erick Thohir mengungkap penyebab utama krisis batu bara dan liquefied natural gas (LNG) yang dialami PT PLN (Persero). Erick menyebut, krisis batubara dan LNG disebabkan oleh model struktur pembelian PLN saat ini.
Seharusnya, kontrak pembelian batubara antara PLN dan Produsen batubara dalam jangka waktu panjang. Pasalnya, pengadaan batubara sudah diatur melalui regulasi wajib pasok atau domestic market obligation (DMO).
Baca Juga: Krisis Batu Bara, Erick Thohir Sudah Wanti-Wanti sejak 2021
Dia pun meminta agar manajemen PLN memperbaiki struktur pembelian batubara saat ini. Di mana, kontrak yang dilakukan harus bersifat jangka panjang.
"Beberapa hal yang di meeting-kan Januari lalu bagaimana pembelian batubara bisa jangka panjang, karena kita sudah ada sistem DMO, harga dipatok jadi tidak ada yang perlu ditakuti, apalagi pada rapat sudah ada pendampingan kejaksaan dan Ketua BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) bersama saya, ada notulennya ini arahan yang harus dilakukan,” ujar Erick di kantor Kementerian BUMN, Kamis (6/1/2022).
Baca Juga: Dirombak Erick Thohir, Ini Susunan Terbaru Direksi PLN
Dalam kontrak jangka panjang, lanjut Erick, masih memungkinkan PLN dan produsen batubara melakukan negosiasi harga di bawah harga DMO.
"Kalau pun harganya lebih murah dari DMO, di dalam catatan itu boleh dinegosiasi ulang sesuai dengan harga pasar, kalau lebih mahal dari DMO ya (pakai) harga DMO. Kalau lebih murah masa pakai harga DMO," kata dia.
Sebelumnya, Lembaga riset Institute for Essential Services Reform (IESR) membeberkan faktor fundamental krisis batubara yang terjadi di PLN. Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mencatat ketidakefektifan kewajiban pasokan atau sebesar 25% dari produsen menjadi sebab utamanya.
Menurutnya, tidak maksimalnya DMO yang dipasok perusahaan batubara menyebabkan pasokan batubara untuk pembangkit PLN dan pembangkit listrik swasta atau Independent Power Producers (IPP) menjadi terganggu.
Kendala pasok DMO sendiri didorong oleh disparitas harga antara harga ekspor dan dan DMO. Artinya, produsen atau Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) memilih mengekspor batubara lantaran nilainya jauh lebih besar dibandingkan harga supply batubara kepada PLN yang dipandang kecil.
Tak hanya itu, faktor utama terjadinya krisis Jenis bahan bakar lokomotif uap itu juga didorong oleh realisasi DMO di internal BUMN di sektor ketenagalistrikan itu sendiri. Fabby memandang, DMO lebih mudah didiskusikan daripada dilaksanakan.
Dalam hitungannya, produsen batubara tidak semuanya memproduksi batubara yang sesuai dengan spesifikasi pembangkit PLN. Sebagian besar pembangkit batubara PLN menggunakan kalori rendah atau di level 4.200. Sementara, ada sejumlah produsen yang tidak memproduksi kalori rendah atau memproduksi kalori yang lebih tinggi dari kebutuhan pembangkit PLN.
"Lalu juga, kalau kita lihat pemegang IUP itu ada ribuan, izin usaha pertambangan. Kan tidak semua produksi batubaranya itu angkanya jutaan ton, ada yang hanya beberapa ribu ton dalam 1 bulan. Nah, kalau itu hanya 25% dan dialokasikan, itu kalau disuruh kirim sendiri yah mahal lho karena dia kecil volume produksinya," tutur Fabby.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)