JAKARTA - Imbas harga kedelai naik membuat produsen tahu dan tempe mogok produksi dari 21 - 23 Februari 2022.
Hal ini pun akhirnya membuat Pakar Agribisnis IPB Feryanto mengatakan, kalau kejadian ini sebenarnya tak perlu terjadi jika pemerintah bisa lebih konsisten.
Menurutnya, harus ada penguatan ke pasar agar rantai distribusi kedelai bisa langsung dimanfaatkan oleh perajin tahu tempe.
BACA JUGA:Harga Kedelai Mahal, Pengrajin Tahu Tempe Tak Sanggup
Hal itu supaya kedelai yang sampai ke perajin tahu tempe tidak melewati jalur distribusi yang panjang.
“Ini menjadi bentuk insentif harga yang diperoleh petani. Saat ini ketika kedelai impor harganya tinggi, lebih tinggi dari kedelai lokal, tentu jadi momentum untuk memperbaiki manajemen pangan nasional,” katanya dalam keterangan yang diterima, Selasa (22/2/2022).
Dia meminta Indonesia untuk belajar dari masa lalu soal strategi terkait kenaikan harga kedelai ini.
"Kita seharusnya belajar dari masa lalu. Apa masalah utamanya dan strateginya seperti apa. Ini seharusnya sudah ada jawaban. Hal ini menunjukkan adanya ketidakkonsistenan upaya pemerintah dalam mewujudkan swasembada" ujarnya.
Ditambah harus ada data sebagai proses pengambilan keputusan, yang di dalamnya berisi perhitungan kebutuhan kedelai.
“Sehingga kita seharusnya sudah bisa menentukan apakah kekurangan itu kita penuhi sendiri, atau kita impor (atau kombinasi keduanya). Hal ini penting, untuk menghindari kekisruhan yang terjadi setiap tahun, terutama lagi menjelang hari-hari besar keagamaan,” jelasnya.
BACA JUGA:Efek Harga Kedelai Mahal, Pedagang Gorengan Teriak Tempe Langka
Dia juga menyinggung soal cadangan pangan kedelai untuk mengantisipasi kenaikan harga.
“Kedelai sudah menjadi bahan pangan pokok masyarakat Indonesia, sehingga peran dan intervensi pemerintah sangat diperlukan. Cadangan pangan (kedelai) dapat digunakan dalam bentuk operasi pasar ketika pasokan tidak tersedia,” sarannya.
Dia pun memberi saran soal pengganti kedelai yang bisa dimanfaatkan untuk sementara waktu.
Berbagai jenis pengganti kedelai itu seperti biji legum, kacang edamame, kacang tolo, kacang hijau, kacang kedelai hitam, kacang koro dan biji lamtoro yang potensinya belum dioptimalkan.
“Kacang-kacangan ini bisa didapat dengan mudah dan ternyata memiliki kandungan gizi dan protein yang lebih tinggi dari kedelai impor (khususnya). Akan tetapi perajin tahu tempe 'enggan' menggunakan biji-biji lokal ini. Ini karena proses produksi agak berbeda, adanya bau dan rasa yang tidak biasa,” bebernya.
Feryanto mengimbau agar masyarakat tak ketergantungan dengan kedelai sehingga bisa menggunakan biji-bijian lainnya.
Lalu, dia meminta agar pemerintah memberikan insentif kepada perajin tahu tempe yang memanfaatkan biji non kedelai.
BACA JUGA:Pedagang Tahu Tempe Mogok Produksi Imbas Kedelai Mahal: Istirahat Dulu Daripada Modal Habis
Kemudian, untuk solusi jangka pendek, pemerintah disarankan mampu mengeluarkan cadangan yang dimiliki dan melakukan operasi pasar.
“Permasalahannya bukan tidak ada pasokan tetapi kenaikan harga. Operasi pasar sebagai intervensi pemerintah untuk 'menegur' importir agar bisa bekerja sama menyediakan kedelai dengan harga yang terjangkau. Selain itu, pemerintah perlu memberikan insentif atau subsidi harga impor kedelai untuk sementara waktu sampai harga kembali normal. Namun solusi ini perlu mempertimbangkan dengan kondisi fiskal pemerintah,” lanjutnya.
Sedangkan untuk jangka panjang pemerintah dalam memuwujudkan swasembada harus ada, tidak setengah-setengah.
Sehingga, roadmap swasembada pangan Indonesia, termasuk kedelai, sudah ada tinggal dievaluasi dan diperbaiki.
“Selama ini kita fokus dan melihat roadmap tersebut jika ada masalah. Ketika masalah selesai dengan sendirinya (anti klimaks) maka pemerintah seolah lupa. Jika kedelai dibiarkan mengikuti mekanisme pasar, itu bisa terjadi. Namun untuk kedelai kan tidak demikian, masih diatur pemerintah karena bagian dari bahan pangan pokok yang harus diawasi,” ucapnya.
Terakhir, dia menyampaikan kalau lahan untuk produksi kedelai lokal harus dioptimalkan.
Tak hanya lahan, tapi penggunaan bibit unggul dan mekanisasi pertanian agar produktivitas meningkat.
“Penggunaan lahan perlu dipetakan. Hal ini sangat bisa dilakukan dengan teknologi pencitraan (satelit) sehingga terpetakan daerah-daerah yang dapat ditanami kedelai,” imbaunya.
(Zuhirna Wulan Dilla)