JAKARTA — Memperpanjang perang di Ukraina artinya Rusia menciptakan masalah besar bagi ekonomi global, khususnya negara G20.
Kekhawatiran menyebar atas meningkatnya risiko ekonomi dan keuangan karena konflik dapat berlangsung selama bertahun-tahun.
Tanpa tanda-tanda akan segera berakhirnya perang di Ukraina, semakin besar risiko bahwa konflik tersebut akan mendorong ekonomi global yang rapuh ke dalam kemerosotan.
BACA JUGA:Kacau! Perang Rusia-Ukraina Perlambat Pertumbuhan Ekonomi Dunia
Dalam tujuh minggu pertama, perang telah memicu arus besar pengungsi Ukraina, mendorong inflasi dengan menaikkan harga makanan dan minyak, serta merusak prospek pertumbuhan Eropa hingga potensi resesi.
Dampak perang muncul ketika dua mesin utama ekonomi global – Amerika Serikat dan China – menghadapi masalah mereka sendiri. Kebijakan virus Covid-19 tanpa toleransi China menjungkirbalikkan rantai pasokan dan meningkatkan keraguan tentang target pertumbuhan 5,5 persen pemerintah.
Di Amerika Serikat, Federal Reserve sedang berjuang untuk mendinginkan inflasi tertinggi dalam 40 tahun.
Kepala ekonom Moody's Analytics Mark Zandi mengatakan, The Fed menaikkan harga minyak dan ekspektasi konsumen akan kenaikan harga.
Perang malah membuat The Fed akan secara agresif menaikkan suku bunga, meningkatkan risiko resesi.
“Dampak invasi Rusia terhadap ekonomi AS telah menjadi lebih bermasalah secara bermakna,” ujar Zandi dikutip dari The Washington Post, Jumat (15/4/2022).
Perang dan sanksi selanjutnya juga telah menyebabkan kerusakan tak terduga pada arus perdagangan global. Rusia dan Ukraina bersama-sama menyumbang kurang dari 3 persen dari ekspor global.
BACA JUGA:Siapkan APBN 2023, Sri Mulyani Kencangkan Ikat Pinggang Imbas Perang Rusia-Ukraina
Menurut sebuah studi baru Bank Dunia terkait efek perang, permusuhan telah memperumit rantai pasokan dengan menaikkan biaya pengiriman dan asuransi di wilayah Black Sea.
Bank Dunia menambahkan, setelah lebih dari dua tahun malapetaka rantai pasokan kronis, perang telah menjadi satu lagi menjadi penyebab sakit kepala bagi industri otomotif, petrokimia, pertanian dan konstruksi.
Korban perang lainnya bisa jadi adalah badan yang mengkoordinasikan respons global terhadap penurunan besar, yaitu negara-negara Kelompok Anggota 20.
Anggota G20 terdiri dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, China, Turki, dan Uni Eropa.
Menteri Keuangan Janet L. Yellen pekan lalu mengatakan Rusia harus dikeluarkan dari G20 atas invasi ke Ukraina, menambahkan bahwa Amerika Serikat akan memboikot pertemuan organisasi jika pejabat Rusia hadir.
Sebelumnya, Indonesia, yang menjadi tuan rumah KTT G20 tahun ini, mengatakan bahwa Rusia tetap diterima.
Ujian pertama dari sikap AS bisa datang pada 20 April, ketika menteri keuangan G20 dan pejabat bank sentral dijadwalkan untuk berkumpul di Washington. Bersama dengan Amerika Serikat, kelompok itu termasuk Uni Eropa, Kanada, Jepang, Cina, dan negara-negara berkembang seperti Brasil dan Afrika Selatan.
“Sejak krisis keuangan 2008, G20 telah menjadi kekuatan penstabil terpenting dalam ekonomi global,” kata Josh Lipsky, direktur Pusat Geoekonomi Dewan Atlantik.
“Ini (G20) adalah badan koordinasi yang sangat penting,” tambahnya.
(Zuhirna Wulan Dilla)