JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap tantangan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) sebagai jaminan kredit. Akhir-akhir ini HAKI cukup menjadi tren di masyarakat yang dinilai sebagai aset tak berwujud yang memiliki potensi ekonomi dan investasi.
Hal ini juga telah menjadi salah satu topik yang cukup banyak didiskusikan di industri sektor jasa keuangan dalam kaitannya sebagai objek yang berpotensi untuk dijadikan jaminan utang.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan, terdapat tantangan dari sisi fluktuasi nilai dari HAKI yang memang tinggi tergantung sentimen pasar, kinerja pemasaran, tren selera masyarakat, time value-nya dan usia ekonomi produk HAKI tersebut.
"Terdapat tantangan yang juga masih harus menjadi concern bersama agar HKI dapat masuk menjadi agunan kredit/pembiayaan. Pertama, perkembangan HKI menyebabkan persaingan antar industri di dalamnya semakin kompetitif. Untuk UMKM berbasis HKI dapat mengalami kesulitan memasuki pasar dan mengakses modal dari pihak eksternal," ujar Dian dalam webinar virtual OJK, Kamis (1/9/2022).
Kedua, dari sisi stabilitas sistem keuangan, HAKI masih sering dinilai sebagai sektor dengan produktivitas rendah serta fluktuasi pada return maupun value yang tinggi sehingga dikategorikan menjadi penyumbang risiko stabilitas, sehingga pembiayaan berbasis HKI menuntut Bank menyimpan pencadangan yang lebih besar.
Ketiga, porsi investasi aset tidak berwujud dan porsinya yang relatif kecil yang dibiayai oleh pinjaman bank berpotensi melemahkan saluran transmisi kebijakan moneter, karena dinilai kurang responsif terhadap perubahan suku bunga.
"Keempat, adanya dispersi biaya di mana keberhasilan skala ekonomi usaha berbasis HKI tergantung leader dan tren di sektor tersebut, serta tergantung dari tingkat inovasi baru yang ada di industri kreatif," katanya.
Selanjutnya, dalam menjadikan Kekayaan Intelektual sebagai objek jaminan utang, berbagai tantangan yang sebenarnya dihadapi oleh perbankan maupun perusahaan pembiayaan.
Pertama, bentuk Perikatan yang dipersyaratkan yang belum diatur secara jelas. Saat ini jenis HAKI yang memiliki dasar hukum perikatan yang jelas hanya Hak Cipta dan Paten sebagaimana UU Hak Cipta dan UU Paten yaitu berupa pengikatan secara fidusia. Sementara jenis HAKI yang lain belum diatur dasar hukum perikatannya.
Kedua, dibutuhkan Pedoman Penilaian atas nilai ekonomis yang masih perlu dikaji dan diatur oleh berbagai pihak yang ahli dalam bidang HKI, mengingat saat ini belum ditetapkan rumus baku penilaian HKI yang dapat dijadikan dasar penilaian jaminan oleh bank.
Ketiga, Lembaga Penilai atas nilai ekonomis yang melekat pada HAKI perlu ditetapkan sebab saat ini belum terdapat lembaga penilai yang khusus menilai HKI sebagai acuan bank.
Keempat, Penetapan tata cara Eksekusi HKI dan juga lembaga yang membantu dalam melaksanakan eksekusi HKI yang dijadikan agunan.
Kelima, Secondary Market yang belum tersedia sehingga pada saat eksekusi tidak dapat dilakukan penjualan yang efektif, sehingga Bank kesulitan untuk mendapatkan pengembalian atas kredit/pembiayaan yang telah diberikan.
Namun demikian, dilihat dari peraturan OJK yang berlaku saat ini, secara prinsip tidak terdapat larangan pada ketentuan OJK dalam menjadikan HKI sebagai agunan dari kredit/pembiayaan, namun terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain Valuasi, Pengikatan HAKI dan Eksekusi.
Dengan demikian, OJK mendukung secara penuh implementasi HKI sebagai salah satu objek jaminan utang, tentunya dengan tetap memprioritaskan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang baik di sektor jasa keuangan.
"Kami juga telah menyiapkan kerangka regulasi HKI sebagai agunan yang saat ini sedang dikaji dan disusun oleh tim pengaturan sehingga akan membantu mempercepat implementasi HKI yang menurut kami memang cukup dinanti-nantikan pegiat industri kreatif," pungkas Dian.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)