"Padahal, selama 30 tahun berbisnis merek-merek tersebut tidak pernah menurunkan order di bawah 10%. Bahkan setiap tahun, ketiga merek itu menaikan pesanan hingga 10 sampai 30%," sambung Eddy.
Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Ia menyebut penurunan pesanan juga terjadi di negara-negara pengekspor alas kaki lainnya seperti Vietnam dan Cina.
Kata Eddy, kedua negara tersebut kini mengajukan kepada pemerintahnya supaya bisa dilakukan pengurangan jam kerja. Dari yang semula 40 jam kerja per minggu menjadi 25-30 jam.
Ia mengaku beberapa perusahaan sebetulnya juga melakukan langkah tersebut. Bahkan, meminta kepada pemerintah di negara masing-masing supaya memberikan kelonggaran kepada pihaknya agar bisa hanya menggaji karyawannya berdasarkan pro rata jam kerja.
"Kalau bahasa medianya itu, no work no pay. Tapi sebetulnya bukan itu, kita ingin meminta satu kelonggaran pada masa ini untuk bisa mengurangi jam kerja supaya kita tidak melakukan PHK," kata Eddy.
Menurut dia itu adalah jalan keluar yang tidak bisa dihindari. Sebab, ia menilai karyawan saat ini tidak bekerja dengan penuh, yakni hanya bekerja setengah hari atau 70% dari biasanya karena total order yang tidak mencukupi.
Di sisi lain, Eddy mengungkapkan para perusahaan pabrik sepatu tidak ingin terus menerus melakukan PHK. Karena, jika ke depan keadaan mulai pulih dan perusahaan membutuhkan karyawan kembali, perusahaan akan memerlukan upaya lebih besar untuk merekrut karyawan baru.
"Perlu semacam upaya seperti kita merekrut karyawan baru, yang harus memberikan pelatihan dan sebagainya," kata dia.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)