JAKARTA - Etika bisnis Nabi Muhammad SAW bisa dicontoh dalam menjalankan usaha. Etika bisnis Nabi Muhammad SAW menjadi faktor kunci kesuksesan.
Nabi Muhammad SAW tidak sekadar menjual produk demi mengeruk keuntungan secara finansial tetapi lebih pada kenyamanan bertransaksi dan pelayanan yang diberikan saat bertransaksi.
Berikut ini etika bisnis Nabi Muhammad SAW seperti dikutip Okezone dari buku Strategi Andal dan Jitu Praktik Bisnis Nabi Muhammad SAW, karya Thorik Gunara dan Utus Hardiono Sudibyo, terbitan Madani Prima, Senin (27/3/2023).
1. Penjual tidak boleh mempraktikkan kebohongan dan penipuan mengenai barang-barang yang dijual pada pembeli.
Penipuan yang dimaksud di sini berkenaan dengan hal-hal seperti pengurangan timbangan, menukar barang yang hendak dibeli dan sumpah palsu.
Anjuran ini juga berlaku pada kegiatan promosi. Periklanan yang semakin tidak memiliki kredibilitas telah diingatkan oleh Nabi Muhammad SAW sejak abad ke 7.
2. Penjual harus menjauhkan diri dari sumpah yang berlebihan dalam menjual suatu barang.
Dalam mengiklankan produk atau jasa tidak dibenarkan untuk melakukan pembodohan dengan cara berdusta. Sebaik apa pun cara yang dipakai, sehalus apa pun bahasa yang digunakan, tetap sumpah yang berlebihan tidak akan membawa kebaikan dalam berdagang.
3. Hanya dengan sebuah kesepakatan bersama, atau dengan suatu usulan dan penerimaan suatu penjualan akan sempurna.
Nabi Muhammad SAW sangat menghargai hak-hak individu dalam berdagang. Dari pihak pedagang maupun pihak pembeli. Dalam prinsip perdagangan yang digunakan olehnya, tidak ada satu pihak yang mempunyai keistimewaan yang lebih dari pihak yang lain. Kadang dalam transaksi jual beli ada satu pihak yang merasa dirugikan atau melakukan transaksi dengan sebuah keterpaksaan. Kesepakatan yang terjalin pun hanya ada pada satu pihak. Ketidaksempurnaan ini terjadi karena kedua pihak tidak ada yang mau mengalah.
Mengapa? Karena tidak adanya saling bermurah hati. Sikap murah hati ini tidak hanya berlaku untuk pengusaha tapi juga untuk customer.
Apabila telah terbentuk paradigma bermurah hati, kesempurnaan dalam transaksi pun akan menjadi nyata dan pada akhirnya tidak akan ada keluh kesah yang menjadi buntut dari jalannya sebuah transaksi.