JAKARTA - Belakangan ini ramai kabar soal Warga Negara Indonesia (WNI) yang memilih pindah kewarganegaraan ke Singapura.
Dilansir BBC di Jakarta, Jumat (14/7/2023), seorang WNI yang kini sudah menjadi warga negara Singapura, Septian Hartono menceritakan bagaimana dia memilih hal tersebut.
BACA JUGA:
Dia mengungkapkan kalau menjadi warga negara Singapura pada 2020, lebih dari 15 tahun sejak dia menjejakkan kaki di negeri itu, dia menjabarkannya sebagai proses yang natural.
Septian diketahui mendapatkan beasiswa untuk kuliah S1 di Nanyang Technological University setelah lulus SMA di Jakarta pada 2003.
Sebagai penerima beasiswa, Septian diwajibkan bekerja di perusahaan Singapura selama tiga tahun. Jika ditotal, Septian tinggal di Singapura selama tujuh tahun sebelum menyandang status permanent resident (PR).
BACA JUGA:
Septian lantas menikah dengan seorang perempuan asal Indonesia yang juga mendapat beasiswa di NTU. Keduanya dikaruniai anak, lalu mereka memutuskan untuk tinggal dalam jangka panjang di Singapura.
“Setelah itu, make sense kalau kita convert (pindah kewarganegaraan),” ucapnya.
Menurutnya, keputusan untuk berganti kewarganegaraan tidak diambil begitu saja.
Selama 15 tahun dia berkali-kali mempertimbangkan untuk pulang ke Indonesia tetapi akhirnya memutuskan untuk tinggal karena “alasan pragmatis”.
Karier menjadi salah satu faktor yang menentukan.
Septian bekerja sebagai teknisi kesehatan di rumah sakit umum terbesar di Singapura dan dia merasa apa yang dia kerjakan sekarang belum ada di Indonesia atau kalaupun ada, levelnya tidak sama seperti di Singapura.
Faktor lainnya ialah standar hidup di Singapura yang dinilai lebih baik dari Indonesia, yang menurut Septian itu berkat fasilitas publiknya.
“Di Singapura keluarga kami bisa tinggal di rumah susun publik, ke mana-mana menggunakan transportasi publik, sekolah [anak] di sekolah negeri, saya bekerja di RS Umum, jadi lebih ke saya melihat bahwa hidup yang so-called baik itu justru hidup yang bisa menikmati fasilitas-fasilitas publik ini,” kata Septian.
“Adik saya tinggal di Jakarta dan dia juga sudah punya anak. Saya lihat justru mungkin anak dia tuh biaya hidupnya lebih tinggi dari anak saya. Sekolah (swasta) lebih mahal, ke mana-mana mesti diantar-jemput naik mobil, segala macam," tambahnya.
Meskipun sudah menjadi warga negara Singapura, Septian mengatakan dia tidak pernah meninggalkan identitasnya sebagai orang Indonesia.
“Ketika aku pindah tidak berarti aku meninggalkan ke-Indonesia-anku. Justru aku menjabarkan identitasku sekarang sebagai Indonesian-Singaporean,” ujarnya.
Dia mengaku identitas Indonesia itu penting untuk memperkaya identitas Singapura itu sendiri.
“Aku di sini juga kan ke gereja yang isinya komunitas orang Indonesia. Itu juga menarik, lebih dari setengah mungkin sudah warga Singapura, cuma tetap ada kekhasannya sebagai orang Indonesia-Singapura. Di satu sisi memperkaya identitas Singapura itu sendiri, di sisi lain juga tetap ada link dengan negara asal, Indonesia,” paparnya.
Menanggapi hal ini, Dirjen Imigrasi Indonesia, Silmy Karim mengatakan sebanyak 1.000 mahasiswa RI berusia 25 sampai 35 tahun, pindah menjadi warga negara Singapura setiap tahun
Dia menyebut bahwa 1.000 orang tersebut tidak hanya terdiri dari mahasiswa tapi orang-orang yang memiliki keahlian khusus dan talenta-talenta baik.
Silmy mengatakan, data 1.000 WNI per tahun itu berasal dari tahun 2019-2022.
Alasan-alasan seperti kesempatan bekerja, infrastruktur, dan pendidikan yang lebih baik disebut menjadi faktor pendorong para WNI untuk mendaftar sebagai warga negara Singapura.
Dia juga mengatakan kalau perpindahan ini merujuk ke orang-orang pintar dan terdidik ke luar negeri sehingga negara asalnya kehilangan “otak” yang terampil.
“Ini fenomenanya kan yang pindah itu adalah orang-orang produktif memiliki keahlian, expertise, dan talenta-talenta baik ini kan merupakan aset. Bagaimana kita menjaga mereka supaya ada di Indonesia? Itu kan menjadi PR bersama,” ucapnya.
Sebagai informasi, sebagai salah satu negara dengan angka fertilitas terendah di dunia, Singapura sedang berusaha menambah populasinya dari sekitar 5 juta sekarang menjadi 6,9 juta pada 2030.
Caranya, dengan membujuk lebih banyak warganya untuk punya anak dan memberikan kewarganegaraan kepada tenaga profesional dari luar negeri.
Menurut informasi resmi, negara-kota itu memberikan kewarganegaraan kepada 15.000-25.000 orang setiap tahun. Syarat utama untuk mendapatkan kewarganegaraan Singapura adalah telah menjadi Permanent Resident selama setidaknya dua tahun.
Warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai akademisi di Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Profesor Sulfikar Amir mengatakan salah satu cara Singapura ‘merekrut’ warga dari negara-negara tetangga adalah dengan memberikan beasiswa untuk kuliah di universitas-universitas paling bergengsi di negara tersebut, seperti NTU dan National University of Singapore (NUS).
Duta besar Indonesia di Singapura, Suryopratomo, mengatakan angka 1.000 WNI per tahun sebenarnya terbilang sedikit dibandingkan jumlah WNI di Singapura yang sekitar 250.000 termasuk 5.000 mahasiswa dan 160.000 pekerja domestik.
Dia memperkirakan angka 1.000 WNI per tahun itu juga mencakup para pengusaha dan warga lanjut usia (lansia) yang memutuskan untuk tinggal di Singapura setelah pandemi Covid-19.
Menurut dia, banyak WNI lansia terutama merasa lebih nyaman tinggal di Singapura karena sistem kesehatan dan lingkungan yang lebih baik.
“Banyak orang yang pertama waktu Covid itu memutuskan untuk menjadi warga negara Singapura karena mereka lebih merasa lebih akan lebih aman hidupnya kalau nanti terjadi pandemi lain,” kata Suryopratomo
Dia tidak memungkiri bahwa brain drain tampaknya benar-benar terjadi. Untuk mencegah itu, imbuhnya, Indonesia perlu menawarkan kehidupan yang lebih menyenangkan, lebih nyaman, lebih menantang, serta lebih banyak ruang untuk maju.
“Kita tahu bahwa ternyata memang brain drain itu terjadi. Nah pertanyaannya adalah kita menyalahkan siapa? Menyalahkan orang dianggap tidak punya nasionalisme? Karena orang bukan cuma sekedar butuh uang, tapi dia butuh aktualisasi diri sebagai manusia dan itu kalau dia punya pekerjaan,” jelasnya.
Terakhir, Septian merasa pemerintah Indonesia sudah mulai melakukan upaya untuk mencegah brain drain dengan berbagai program seperti beasiswa LPDP, yang mensyaratkan penerimanya untuk pulang dan bekerja di Indonesia selama dua kali masa studi ditambah satu tahun (2n+1).
“Zaman dahulu, banyak mahasiswa Indonesia tidak punya banyak opsi ketika ingin ke luar negeri karena itu opsi dari Singapura ini cukup atraktif,” ujarnya.
Dia mengamati bahwa setidaknya di kalangan mahasiswa juniornya, jumlah orang yang pindah kewarganegaraan tidak sebanyak di angkatannya.
“Pemerintah sudah menyadari mereka harus melakukan sesuatu untuk mempertahankan talenta mereka. Dulu enggak ada, jadi banyak brain drain," pungkasnya.
(Zuhirna Wulan Dilla)