Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

40% Harta Karun Panas Bumi Ada di Indonesia, Sudah Dioptimalkan?

Saskia Adelina Ananda , Jurnalis-Kamis, 13 Juni 2024 |10:31 WIB
40% Harta Karun Panas Bumi Ada di Indonesia, Sudah Dioptimalkan?
40% Harta Karun Panas Bumi Ada di Indonesia (Foto: Kementerian ESDM)
A
A
A

JAKARTA - Indonesia mempunyai harta karun panas bumi dengan potensi sumber daya panas bumi mencapai 23.765,5 megawatt (mw) atau sekitar 40% total potensi panas bumi global.

Industri panas bumi berpotensi dapat memainkan peran penting dalam proses transisi dan ketahanan energi nasional. Dengan harta karun panas bumi sebanyak itu, Indonesia dapat menjadi tulang punggung untuk mewujudkan ketahanan energi dan ekonomi nasional.

Panas bumi memiliki peran penting untuk dapat membantu merealisasikan target NZE 2060 dan pelaksanaan kebijakan ekonomi hijau.

Namun sayangnya, hingga saat ini pengembangan dan pengusahaan panas bumi di Indonesia masih berjalan lambat. Data yang dirangkum ReforMiner Institute menunjukkan, selama 2017-2023 kapasitas terpasang panas bumi hanya meningkat sekitar 789,21 MW.

"Sejak mulai diusahakan pada 1980an sampai dengan akhir 2023, total kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi Indonesia dilaporkan baru mencapai sekitar 2.597,51 MW, atau baru sekitar 10,3% dari total potensi sumber daya yang dimiliki Indonesia," kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, Jakarta, Kamis (13/6/2024).

Berdasarkan hasil perhitungan, jika seluruh potensi panas bumi Indonesia dapat dimanfaatkan, terdapat potensi penurunan gas rumah kaca (GRK) sekitar 182,32 Juta Ton CO2e atau setara dengan 58 % target penurunan GRK sektor energi pada tahun 2030 yang ditetapkan sebesar 314 Juta Ton CO2e.

Sementara, berdasarkan karakteristiknya, energi panas bumi memiliki peran penting untuk dapat membantu mewujudkan ketahanan energi nasional. Hal itu karena keberadaan dan pemanfaatan panas bumi pada umumnya melekat pada negara atau wilayah yang memiliki sumber daya panas bumi.

"Karena relatif tidak dapat diekspor, prioritas pemanfaatan energi panas bumi adalah untuk kepentingan domestik yang relevan dengan upaya mewujudkan ketahanan energi nasional," ujarnya.

Terkait ketahanan energi, panas bumi memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan jenis energi baru dan terbarukan (EBT) lainnya. Keunggulan tersebut meliputi tidak bergantungan pada cuaca; produksi energi yang lebih besar untuk periode yang sama, tingkat kapasitas yang lebih tinggi, prioritas untuk kepentingan domestik, tidak terpengaruh oleh kenaikan harga energi fosil, biaya operasi pembangkitan yang relatif lebih murah.

Dalam kelompok EBT, faktor kapasitas listrik panas bumi (PLTP) tercatat sebagai yang terbaik yaitu antara 90-95 %. PLTP tercatat sebagai satu-satunya pembangkit EBT yang dapat beroperasi sebagai beban dasar (base load) dalam sistem kelistrikan.

Kemudian, biaya operasi pembangkit listrik panas bumi (PLTP) tercatat sebagai salah satu yang termurah. Berdasarkan Statistik PLN 2022, rata-rata biaya operasi pembangkit listrik panas bumi tercatat berada jauh di bawah rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional. Rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional pada tahun 2022 dilaporkan sebesar Rp 1.473/kWh.

Sementara rata-rata biaya operasi pembangkit listrik panas bumi (PLTP) pada tahun yang sama adalah sebesar Rp 118,74/kWh atau sekitar 8,60 % dari rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional.

Meskipun memiliki sejumlah keunggulan, berdasarkan dokumen kebijakan yang ada, panas bumi tampak belum menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan kebijakan transisi energi. RUPTL 2021 - 2030 menetapkan target tambahan pembangkit energi baru dan energi terbarukan (EBET) sampai tahun 2030 adalah 20,9 GW. Sekitar 66% dari target tambahan kapasitas tersebut akan berasal dari PLTA dan PLT Surya masing - masing sebesar 9,2 GW dan 4,6 GW.

"Sementara kapasitas pembangkit panas bumi direncanakan hanya akan bertambah sekitar 3,4 GW atau 16% dari total tambahan pembangkit EBET," ujarnya.

Relatif sama dengan RUPTL 2021 – 2030, target pemanfaatan panas bumi dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) juga tampak tidak menjadi prioritas utama.

Penambahan kapasitas pembangkit EBET dalam dokumen KEN difokuskan pada pembangkit bioenergi, PLTA dan PLT Surya. Sampai dengan tahun 2050, kapasitas pembangkit dari ketiganya ditargetkan masing-masing sebesar 26 GW, 38 GW dan 45 GW. Sementara pada periode yang sama kapasitas pembangkit listrik panas bumi ditargetkan sebesar 17,5 GW.

Dia menilai, relatif belum dijadikannya sumber energi panas bumi sebagai prioritas dalam pelaksanaan transisi energi karena adanya sejumlah kendala dalam pengembangan dan pengusahaannya.

Berdasarkan review terdapat sejumlah risiko yang harus dihadapi oleh pengembang dalam pengusahaan panas bumi di Indonesia, di antaranya: Risiko kegagalan eksplorasi; risiko finansial akibat tata waktu dan struktur pasar dalam industri panas bumi; hambatan regulasi dan tatakelola (PJBL, TKDN, perizinan, kepemilikan aset, ketidaksesuaian insentif pemerintah dengan kebutuhan pengembang), kebutuhan modal awal yang cukup besar, durasi pengembangan relatif lama; dan lokasi geografis sumber daya panas bumi di daerah terpencil.

Sejumlah kendala tersebut menjadi penyebab harga jual listrik panas bumi di Indonesia dinilai masih cukup relatif mahal.

"Permasalahan pengembangan dan pengusahaan panas bumi di negara yang lain pada dasarnya juga relatif sama dengan permasalahan yang dihadapi di Indonesia. Akan tetapi, dengan terobosan kebijakan yang dilakukan, sejumlah negara tercatat berhasil mendorong harga listrik panas bumi menjadi kompetitif bahkan lebih murah dari rata-rata BPP listrik nasional negara yang bersangkutan,: katanya.

(Dani Jumadil Akhir)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement