JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan telah menyelesaikan penyidikan dugaan tindak pidana perbankan (tipibank) yang terjadi di Kantor Pusat PT Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Timur (BPD NTT).
Ini merupakan bagian dari pelaksanaan fungsi penyidikan sektor jasa keuangan OJK.
Kepala Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan OJK Tongam L Tobing, mengatakan penyidik OJK telah melaksanakan pelimpahan berkas perkara (Tahap 1) kasus di BPD NTT kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Setelah dipelajari JPU, terang Tongam, disimpulkan berkas hasil penyidikan perkara pidana atas nama para Tersangka sebagaimana pasal yang dipersangkakan sudah lengkap (P.21).
“Dalam menangani dugaan tindak pidana perbankan tersebut, OJK telah melakukan berbagai upaya yaitu mulai dari tahapan pengawasan, pemeriksaan khusus sampai dengan penyelidikan dan penyidikan. Dari hasil yang ditemukan, pencairan kredit yang dilakukan, sebagian dananya tidak dialokasikan sesuai tujuan kredit,” kata Tongam di Jakarta, Kamis (4/7/2024).
Detil Perkara
Perkara ini terjadi pada periode 4 April s.d. 19 Agustus 2019 dengan rincian perkara antara Absalom Sine (Direktur Pemasaran Kredit BPD NTT periode 11 Maret 2015 s.d. 5 Mei 2020 merangkap Plt. Direktur Utama periode Mei 2018 s.d. Mei 2019) dan Beny Rinaldy Pellu (Kepala Divisi Pemasaran Kredit BPD NTT periode November 2016 s.d. September 2019).
Keduanya diduga dengan sengaja menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam proses pemberian tiga fasilitas kredit kepada debitur a.n. PT Budimas Pundinusa (PT BMP) dengan total plafon Rp100 miliar.
Fasilitas kredit tersebut terbagi menjadi tiga yaitu Kredit Modal Kerja (KMK) Standby senilai Rp32 miliar, Kredit Investasi (KI) Jadwal Pembayaran (KI-JP) senilai Rp20 miliar dan KMK-RC senilai Rp48 miliar.
Lebih lanjut, Tongam memaparkan bahwa dalam proses penyelidikan dan penyidikan ditemukan telah terjadi tindak pidana perbankan.
Atas perbuatannya, Tersangka diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200 miliar.
(Taufik Fajar)