Dia mengatakan bahwa setidaknya ada sembilan alasan buruh melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
1. Konsep Upah Minimum yang Kembali pada Upah Murah: UU Cipta Kerja mengembalikan konsep upah minimum menjadi upah murah, mengancam kesejahteraan buruh dengan kenaikan upah yang kecil dan tidak mencukupi.
2. Outsurcing Tanpa Batasan Jenis Pekerjaan: Tidak ada batasan jenis pekerjaan yang boleh di-outsourcing, sehingga menghilangkan kepastian kerja bagi buruh. Ini sama saja menempatkan negara sebagai agen outsourcing.
3. Kontrak yang Berulang-ulang: UU Cipta Kerja memungkinkan kontrak kerja berulang-ulang tanpa jaminan menjadi pekerja tetap, hal ini mengancam stabilitas kerja.
4. Pesangon yang Murah: Pesangon yang diberikan hanya setengah dari aturan sebelumnya, merugikan buruh yang kehilangan pekerjaan.
5. PHK yang Dipermudah: Proses PHK dipermudah, membuat buruh tidak memiliki kepastian kerja dan selalu berada dalam posisi rentan.
6. Pengaturan Jam Kerja yang Fleksibel: Jam kerja yang tidak menentu menyulitkan buruh untuk mengatur waktu antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
7. Pengaturan Cuti: Tidak adanya kepastian upah selama cuti, khususnya bagi buruh perempuan, menambah kerentanan dan diskriminasi di tempat kerja.
8. Tenaga Kerja Asing: Peningkatan jumlah tenaga kerja asing tanpa pengawasan ketat menimbulkan kekhawatiran di kalangan buruh lokal.
9. Hilangnya Sanksi Pidana: Penghapusan sanksi pidana bagi pelanggaran hak-hak buruh memberikan kelonggaran bagi pengusaha untuk melanggar tanpa konsekuensi hukum berat.
Said mengatakan bahwa bagi kaum buruh, sidang tanggal 17 Juli ini adalah sidang penentuan. Oleh karena itu, Partai Buruh bersama KSPI, KSPSI, KPBI, dan KSBSI berharap hakim memutuskan untuk mencabut klaster ketenagakerjaan.
“Apabila tidak akan melakukan mogok nasional akan diikuti 5 juta buruh di seluruh Indonesia. Buruh keluar dari pabrik tidak melakukan produksi,” tegas Said.
(Taufik Fajar)