JAKARTA - Rencana penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang akan diberlakukan 1 Januari 2025 membuat gaduh. Penolakan PPN 12% menggema, mulai dari masyarakat, pekerja hingga dunia usaha.
Dampak-dampak yang ditimbulkan dari rencana kenaikan PPN 1% dari 11% menjadi 12% sudah membuat resah para masyarakat Indonesia.
Bahkan, PPN menjadi 12% mulai Januari 2025 memicu reaksi negatif di media sosial dengan munculnya Garuda Biru. Suatu bentuk penolakan PPN 12%.
Masyarakat menilai kenaikan PPN akan memengaruhi daya beli dan berdampak buruk terhadap pendapatan perusahaan yang berakibat pada gaji karyawan.
Di sisi lain, pemerintah dan DPR akan membahas tax amnesty jilid III. Hal ini setelah Badan Legislasi (Baleg) DPR telah resmi memasukkan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
RUU tersebut kemudian diambil oleh Komisi XI DPR untuk kemudian dijadwalkan pembahasan dengan Kementerian Keuangan sebagai mitra kerja. Akan tetapi, rencana revisi tersebut berubah menjadi pengajuan UU baru.
Tax amnesty jilid III akan jadi pengampunan dosa pajak bagi orang kaya, sementara PPN 12% akan berlaku untuk seluruh masyarakat, termasuk masyarakat kelas bawah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 sudah ada dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Diterapkannya kebijakan PPN 12% disebut bukan membabi buta.
Sri Mulyani menegaskan kenaikan PPN menjadi 12% dilakukan secara terukur.
Sri Mulyani memahami bahwa pemerintah perlu memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai kenaikan PPN tersebut.
"Saya setuju bahwa kita perlu banyak memberikan penjelasan kepada masyarakat, artinya walaupun kita buat policy tentang pajak termasuk PPN bukannya membabi buta atau tidak punya afirmasi atau perhatian pada sektor-sektor seperti kesehatan, pendidikan bahkan makanan pokok," ungkap Sri Mulyani di Gedung DPR, 14 November 2024.
Adapun kenaikan PPN 12% akan tetap dijalankan sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) meskipun di tengah penurunan daya beli dan pelemahan ekonomi. Namun, Sri Mulyani menegaskan APBN sebagai instrumen shock absorber akan tetap dijaga kesehatannya.
“Sudah ada UU-nya kita perlu siapkan agar itu (PPN 12%) bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa,” ujar Sri Mulyani.
"APBN memang tetap harus dijaga kesehatannya, namun pada saat yang lain APBN itu harus berfungsi dan mampu merespons dalam episode global crisis financial," ujarnya.
Adapun PPN 12% termaktub dalam Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 2021 yang disusun oleh Kabinet Indonesia Maju di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam beleid itu, disebutkan bahwa PPN dinaikkan secara bertahap, yakni 11% pada 1 April 2022 dan 12% pada 1 Januari 2025.
Penolakan PPN 12%, Garuda Biru Menggema
Fenomena Garuda Biru kembali viral di media sosial. Darurat Indonesia kali ini dikaitkan dengan kebijakan pemerintah yang akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.
Sejak diumumkan, kebijakan ini langsung memicu kritik netizen di media sosial. Banyak warganet menilai kenaikan PPN memberatkan, terutama bagi masyarakat menengah ke bawah yang mengalami tekanan ekonomi dari semua aspek.
"Di Indonesia pajak terus naik, tapi gaji khususnya UMR ga ada peningkatan sama sekali. Padahal secara logika, kalo pajak naik ya otomatis mempengaruhi biaya hidup. Jujur bingung sama ini negara, pemikirannya duit melulu, tapi rakyatnya dibikin susah dan miskin, gue marah banget,” tulis akun @skmxawng di X.
Cuitan ini menunjukkan keresahan dan kekecewaan masyarakat terhadap beban hidup yang kian berat tanpa ada solusi konkret dari pemerintah.
Sejumlah ekonom juga memperingatkan potensi efek domino dari kenaikan PPN. Kebijakan ini tidak hanya akan memengaruhi daya beli masyarakat, tetapi juga berisiko mengurangi pendapatan perusahaan, yang akhirnya berdampak pada gaji dan kesejahteraan karyawan.
"Daya beli masyarakat sedang turun, terutama di kelas menengah ke bawah. Kebijakan ini dapat memperlambat pemulihan ekonomi, mengingat konsumsi domestik adalah salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ujar seorang ekonom dalam sebuah diskusi.
Penjelasan Ditjen Pajak
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberi tanggapan terkait ramainya penolakan pemberlakukan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% di tahun 2025.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti mengatakan, baiknya masyarakat melihat penyesuaian tarif PPN dari dua hal, yaitu tidak semua barang atau jasa terkena pajak dan hasil akhir pajaknya.
"Terkait penyesuaian tarif PPN mohon tidak semata-mata dilihat dari kenaikannya, tapi harus dilihat dari dua hal," kata Dwi kepada MNC Portal, Jumat 22 November 2024.
Hal pertama yang harus diperhatikan masyarakat adalah tidak semua barang dan jasa terkena PPN.
DJP menegaskan, barang dan jasa yang dibutuhkan rakyat banyak seperti barang kebutuhan pokok berupa beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan dan sayur-sayuran serta jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa transportasi umum, dan jasa ketenagakerjaan, dibebaskan dari pengenaan PPN, artinya kebutuhan rakyat banyak tidak terpengaruh oleh kebijakan ini
Kedua adalah hasil dari kebijakan penyesuaian tarif PPN akan kembali kepada rakyat dalam berbagai bentuk, yaitu Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, subsidi listrik, subsidi LPG 3 kg, subsidi BBM, dan subsidi pupuk.
"Pada tahun 2023 pemerintah mengucurkan dana sebesar Rp269,59 triliun untuk bantuan sosial dan subsidi," ungkap Dwi.
Menurut Dwi, DJP akan terus memberikan pemahaman kepada masyarakat melalui sosialisasi dan edukasi serta dengan melibatkan figur publik untuk menyampaikan manfaat dari kebijakan kenaikan tarif PPN sebesar 1 persen yang nantinya akan dikembalikan kepada masyarakat.
"Kenaikan tarif PPN sebesar 1% memberikan manfaat dalam menyejahterakan masyarakat antara lain: pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, subsidi listrik, subsidi LPG 3 kg, subsidi BBM, dan subsidi pupuk," pungkasnya.
Sebelumnya, penolakan terhadap rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% mencuat di media sosial, khususnya X atau Twitter. Sebagai informasi, pemerintah kana menerapkan tarif PPN terbaru itu mulai 1 Januari 2025.
Daftar Barang dan Jasa Kena PPN 12%
PPN merupakan pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.
Lantas barang apa saja yang akan terdampak dan tidak terdampak kenaikan PPN 12% ini?
Dikutip MNC Portal Indonesia dalam dokumen UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas barang Mewah, berikut objek yang dikenakan PPN 12% berdasarkan Pasal 4 ayat 1:
1. penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
2. impor Barang Kena Pajak;
3. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
6. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
7. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
8. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Kemudian dalam UU HPP tahun 2021, jenis barang yang dikecualikan dari kenaikan PPN yaitu barang tertentu yang dikelompokkan dalam beberapa kategori. Berikut daftar barang dan jasa yang tidak terkena kenaikan PPN 12%:
1. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman, baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah
2. Uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga.
3. Jasa keagamaan
4. Jasa kesenian dan hiburan, meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah
5. Jasa perhotelan, meliputi jasa penyewaan kamar dan/atau jasa penyewaan ruangan di hotel, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah
6. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan secara umum, meliputi semua jenis jasa sehubungan dengan aktivitas pelayanan yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan jasa tersebut tidak dapat disediakan oleh bentuk usaha lain
7. Jasa penyediaan tempat parkir, meliputi jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik atau pengusaha pengelola tempat parkir, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah
8. Jasa boga atau katering, meliputi semua aktivitas pelayanan penyediaan makanan dan minuman, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah
9. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak
10. Jasa pelayanan kesehatan medis tertentu dan yang berada dalam sistem program jaminan kesehatan nasional (JKN)
11. Jasa pelayanan sosial
12. Jasa keuangan
13. Jasa asuransi
14. Jasa pendidikan
15. Jasa angkutan umum di darat dan air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari jasa angkutan luar negeri
16. Jasa tenaga kerja
Selain itu, barang yang tidak kena PPN juga diatur dalam PMK Nomor 116/PMK.010/2017, berikut rinciannya:
1. Beras dan gabah berkulit, dikuliti, disosoh atau dikilapkan maupun tidak, setengah giling atau digiling semua, pecah, menir, salin yang cocok untuk disemai
2. Jagung dikupas maupun belum, termasuk pipilan, pecah, menir, tidak termasuk bibit
3. Sagu berupa empulur sagu (sari sagu), tepung, tepung bubuk dan tepung kasar
4. Kedelai berkulit, utuh dan pecah, selain benih
5. Garam konsumsi beryodium atau tidak, termasuk garam meja dan garam didenaturasi untuk konsumsi atau kebutuhan pokok
6. Daging segar dari hewan ternak dan unggas dengan/tanpa tulang yang tanpa diolah, dibekukan, dikapur, didinginkan, digarami, diasamkan, atau diawetkan dengan cara lain
7. Telur tidak diolah, diasinkan, dibersihkan, atau diawetkan, tidak termasuk bibit
8. Susu perah yang melalui proses dipanaskan atau didinginkan serta tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya
9. Buah-buahan segar yang dipetik dan melalui proses dicuci, dikupas, disortasi, dipotong, diiris, digrading, selain dikeringkan
10. Sayur-sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dibekukan, disimpan dalam suhu rendah, atau dicacah
11. Ubi-ubian segar, melalui proses dicuci, dikupas, disortasi, diiris, dipotong, atau digrading
12. Bumbu-bumbuan segar, dikeringkan, dan tidak dihancurkan atau ditumbuk
13. Gula konsumsi kristal putih asal tebu untuk konsumsi tanpa tambahan bahan pewarna atau perasa
5 Juta Buruh Ancam Mogok Massal
Presiden KSPI yang juga Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan, rencana kenaikan PPN 12% akan berdampak langsung pada harga barang dan jasa yang semakin mahal. Di sisi lain, kenaikan upah minimum yang mungkin hanya berkisar 1%-3% tidak cukup untuk menutup kebutuhan dasar masyarakat.
Akibatnya, daya beli masyarakat merosot, dan dampaknya menjalar pada berbagai sektor ekonomi yang akan terhambat dalam upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%.
“Lesunya daya beli ini juga akan memperburuk kondisi pasar, mengancam keberlangsungan bisnis, dan meningkatkan potensi PHK di berbagai sektor,” ujar Said Iqbal dalam keterangan tertulis, Rabu 20 November 2024.
Said Iqbal melanjutkan, kebijakan ini tidak hanya melemahkan daya beli, tetapi juga berpotensi menambah ketimpangan sosial. Dengan beban PPN yang meningkat, rakyat kecil harus mengalokasikan lebih banyak untuk pajak tanpa adanya peningkatan pendapatan yang memadai.
Lebih jauh, dirinya menyebut, redistribusi pendapatan yang timpang akan semakin memperlebar jurang antara yang kaya dan miskin, menjadikan beban hidup masyarakat kecil semakin berat.
"Bagi Partai Buruh dan KSPI, kebijakan ini mirip dengan gaya kolonial yang membebani rakyat kecil demi keuntungan segelintir pihak," ungkapnya.
Said Iqbal mengatakan, jika pemerintah tetap melanjutkan kenaikan PPN menjadi 12% dan tidak menaikkan upah minimum sesuai dengan tuntutan, pihaknya bersama serikat buruh lainnya akan menggelar mogok nasional yang melibatkan 5 juta buruh di seluruh Indonesia.
"Aksi ini direncanakan akan menghentikan produksi selama minimal 2 hari antara tanggal 19 November hingga 24 Desember 2024, sebagai bentuk protes terhadap kebijakan yang dianggap menekan rakyat kecil dan buruh," tegas Said Iqbal.
Pengusaha Buka Suar
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menanggapi kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% pada awal tahun 2025. Kadin Indonesia meminta pemerintah perlu mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial dari kenaikan PPN tersebut.
Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Organisasi, Hukum dan Komunikasi Kadin Indonesia, Yukki Nugrahawan Hanafi mengungkapkan dunia usaha menekankan perlunya kajian dan pertimbangan mendalam mengenai dinamika perekonomian pada tahun 2024, serta proyeksi perekonomian tahun 2025 sebagai pertimbangan sebelum implementasi kenaikan tarif PPN 12%.
"Untuk itu, Kadin Indonesia mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial yang mungkin muncul akibat kenaikan PPN menjadi 12% pada 2025 mendatang," jelas Yukki kepada MNC Portal, Jumat 22 November 2024.
Yukki menuturkan, dalam penerapan kebijakan PPN 12%, pemerintah perlu memitigasi dampak dari kenaikan tarif PPN ini, khususnya terhadap penurunan daya beli masyarakat kecil dan menengah serta efeknya terhadap tingkat inflasi.
Terlebih, lanjut Yukki, dengan melihat pada kondisi ketidakpastian ekonomi makro secara global yang mengalami perlambatan dan resesi, maka konsumsi domestik menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional.
"Oleh karena itu, kenaikan tarif PPN perlu dengan cermat mempertimbangkan dampak turunan akan perlambatan konsumsi domestik dan daya beli masyarakat," katanya.
Meskipun demikian, Yukki mengatakan Kadin memahami pentingnya menjaga postur fiskal dan APBN agar tetap resilient di tengah dinamika tantangan ekonomi global maupun domestik. Namun, ucap Yukki, menjaga daya beli masyarakat juga faktor penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, dimana sektor konsumsi domestik senantiasa menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi.
"Untuk itu, kami berharap pemerintah dapat terus mempertimbangkan pengambilan keputusan terkait PPN dengan memperhatikan terjaganya konsumsi domestik," pungkasnya.
(Taufik Fajar)