Menurut analisis tersebut, kenaikan tarif PPN dapat memberikan tekanan pada daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok berpenghasilan rendah. Hal ini berpotensi memengaruhi pengeluaran rumah tangga, yang pada gilirannya bisa berdampak negatif pada tingkat konsumsi secara keseluruhan.
Meski demikian, hingga kini belum ada kebijakan resmi dari Presiden Prabowo terkait perubahan tarif PPN. Pemerintah tampaknya masih mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk dampaknya terhadap penerimaan negara dan kesejahteraan masyarakat secara lebih luas.
Menurut kajian yang dilakukan oleh LPEM FEB UI, Teuku menjelaskan bahwa selama periode 2020-2021, saat tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) masih berada di angka 10%, rumah tangga kaya yang masuk dalam 20% kelompok terkaya, menggunakan 5,10% dari total pengeluarannya untuk membayar PPN. Sementara itu, rumah tangga miskin yang termasuk dalam 20% kelompok termiskin, mengalokasikan 4,15% dari pengeluarannya untuk pajak tersebut.
Setelah tarif PPN dinaikkan menjadi 11% pada 2022-2023, beban pengeluaran untuk pajak ini mengalami peningkatan. Rumah tangga kaya harus mengeluarkan 5,64% dari total pengeluaran mereka untuk PPN, sementara rumah tangga miskin mengalokasikan sekitar 4,79% dari pengeluarannya untuk pajak ini.
(Feby Novalius)