JAKARTA - Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menargetkan 14 juta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tersertifikasi halal. Target tersebut direalisasikan hingga 2029.
Kepala BPJPH Haikal Hassan mencatat, dari 66 juta pelaku usaha mikro di Indonesia, ada 64 juta UMKM yang belum tersertifikasi halal.
“Nah, 14 juta ini harus kita kejar sampai 2029 ya," ujar Haikal usai gelatan rapat kerja Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) dan FGD Masa Depan Investasi, di Jakarta Selatan, Kamis (6/2/2025).
"Dari 64 juta (UMKM) itu, makanan itu kurang lebih 14 persen, jadi target kita yang 14 persen kita selesaikan dulu sampai 2026. Setelah itu baru kosmetik, obat, dan sebagainya,” paparnya.
Adapun, BPJPH berupaya agar 3,5 juta UMKM tersertifikasi halal setiap tahunnya. Proyeksi ini untuk mengejar target 14 juta UMKM penerima sertifikasi halal hingga empat tahun mendatang.
"Sebanyak 14 juta ini mesti kita kejar, satu tahun dapetnya 3,5 juta, sehari dapetnya 10.000," ucapnya.
Dalam kesempatan tersebut, Ketua Umum Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) Said Aqil Siroj menilai sertifikasi halal di Indonesia belum bisa menjadi mercusuar dunia.
Bahkan, brandingnya di pasar global kalah saing dengan negara tetangga, Malaysia. Padahal, produk halal yang diproduksi di dalam negeri secara kualitas lebih unggul dibandingkan Malaysia.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) masa khidmat 2010-2015 itu enggan merinci kendala utama yang membuat branding produk halal RI masih tertinggal saat ini.
Adapun, sertifikat halal merupakan jaminan pemerintah kepada konsumen bahwa bahan dan cara pengolahan suatu produk sesuai dengan ketentuan.
“Hari ini proses sertifikasi halal Indonesia belum bisa menjadi mercusuar dunia. Klaim dan brandingnya masih kalah dengan Malaysia,” ungkap Said Aqil.
“Mohon maaf di Saudi itu di pasar-pasar Saudi untuk semua produk makanan Malaysia, yang dipercaya betul, yang sudah meyakinkan masyarakat Saudi,” tutur dia.
Menurutnya, dunia perlu diarahkan untuk membentuk ekosistem halal. Dalam konteks ini Indonesia punya posisi strategis untuk ambil peran besar.
Halal, lanjut dia, tidak hanya sebagai komitmen, tetapi menjadi mandatory bagi setiap produk, teknologi, narasi, yang hendak menguasai pasar-pasar muslim global.
“Mendasar pada hal tersebut, kami sangat meyakini nilai tambah investasi industri dan ekosistem halal, bukan hanya secara finansial, tetapi dapat menjadi ujung tombak sebagai soft diplomasi dan branding untuk Indonesia di mata dunia,” beber Said Aqil.
(Taufik Fajar)