JAKARTA – Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam naik kelas ke skala usaha yang lebih tinggi.
Menurut Co-Founder & Advisor UKMIndonesia.id, Dewi Meisari Haryanti, meskipun jumlah UMKM di Indonesia mencapai 63 juta unit, hanya sebagian kecil yang berhasil berkembang ke level lebih tinggi.
"Itu cuma 84 juta per tahun, jadi sebulan sekitar 7-8 juta. Jadi kalau profitnya 30%, ya tipis-tipis harus bisa nabung atau enggak gitu ya. Nah, ini jumlahnya 63-an juta unit usaha," kata Dewi dalam acara #NgobroldiMeta Ramadan bersama WhatsApp, Selasa (25/2/2025).
Ketika usaha mikro berkembang dengan omzet Rp300 juta hingga Rp2 miliar per tahun, jumlahnya langsung turun drastis menjadi sekitar 600 ribu unit usaha. Angka ini semakin mengecil saat naik ke level usaha kecil dengan omzet Rp2 miliar hingga Rp15 miliar per tahun, yang hanya sekitar 140 ribu hingga 194 ribu unit usaha.
Untuk skala menengah, yang memiliki omzet antara Rp15 miliar hingga Rp50 miliar per tahun, jumlahnya lebih sedikit lagi, sekitar 44 ribu unit usaha. Di atas itu, baru disebut usaha besar dengan omzet lebih dari Rp50 miliar per tahun.
Dewi juga menyoroti bahwa klasifikasi UMKM di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan negara lain seperti China dan Singapura.
"Di China itu, batas atas usaha menengah sampai Rp600 miliar. Jadi usaha besar kita, itu banyak yang masih masuk kategori UKM kalau pakai kriterianya orang China. Di Singapura lebih sage lagi, sampai Rp1 triliun. Jadi kalau yang offsetnya di bawah Rp1 triliun, itu dianggap UKM. Di atas Rp1 triliun, baru dianggap usaha besar," jelasnya.
Hal ini menunjukkan bahwa skala usaha di Indonesia masih sangat kecil dibandingkan dengan standar internasional. Banyak UMKM yang sebetulnya sudah berkembang tetapi masih masuk kategori kecil atau menengah di dalam negeri, padahal di negara lain sudah bisa dikategorikan sebagai usaha besar.