JAKARTA - Keputusan pemerintah mengundurkan jadwal pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dikhawatirkan meningkatkan jumlah pengangguran sementara.
Sejumlah ekonom memperingatkan dampak berantai kebijakan ini terhadap perekonomian di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pemerintah memutuskan bahwa pengangkatan CPNS akan dilakukan pada 1 Oktober 2025. Sementara pengangkatan PPPK 2024 Tahap 1 mundur menjadi 1 Maret 2026. Padahal berdasarkan surat edaran Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 02/PANPEL.BKN/CPNS/IX/2024, penetapan Nomor Induk Pegawai (NIP) atau pengangkatan CPNS seharusnya dilakukan 22 Februari hingga 23 Maret 2025.
Penundaaan pengangkatan CPNS berpotensi menyebabkan peningkatan sementara angka pengangguran, terutama bagi mereka yang telah mengundurkan diri dari pekerjaan sebelumnya. Hal ini diutarakan dosen Universitas Paramadina, Ariyo DP Irhamna, yang juga ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef).
"Hal ini diperparah dengan penutupan beberapa pabrik dan PHK yang tengah melanda industri manufaktur," ujar Ariyo ketika dihubungi.
"Dilihat dari data tahun lalu, jumlah PHK di tahun 2024 secara akumulasi dilaporkan mencapai angka 77.965 orang. Ini peningkatan 13.110 orang atau 20,21 persen dibandingkan tahun 2023. "Di bulan Januari 2025 saja, jumlah tenaga kerja yang ter-PHK telah mencapai 3.325 orang."
Ariyo merujuk ke data jumlah PHK yang diunggah Kementerian Ketenagakerjaan dalam situs mereka.
Kerugian penundaan pengangkatan CPNS ini berpotensi mencapai lebih dari Rp6,76 triliun jika berlanjut hingga Oktober 2025, menurut Bhima Yudhistira, ekonom dan direktur Center of Economic and Law Studies (Celios).
Perkiraan itu dengan mengambil asumsinya rata-rata gaji pokok ASN sebesar Rp 3,2 juta untuk masa dari 0 sampai 3 tahun setelah dikurangi pajak dan ditambah berbagai tunjangan.
"Kalau ada penundaan pengangkatan CPNS berlangsung selama sembilan bulan (dari Maret 2025 hingga Oktober 2025) artinya ada potensi pendapatan per orang ASN yang hilang sebesar Rp 27 juta," ujar Bhima dilansir BBC Indonesia.
"Sementara ada 250.407 formasi yang dibutuhkan baik di pusat dan daerah. Total pendapatan ASN yang berpotensi hilang akibat penundaan pengangkatan sebesar Rp6,76 triliun."
Menurut Bhima, keputusan pemerintah ini menciptakan pengangguran semu.
"Statusnya CPNS tapi menganggur sembilan bulan. Sebagian sudah resign juga dari pekerjaan sebelumnya. Padahal fungsi pembukaan CPNS itu jaga untuk menyerap tenaga kerja disaat kondisi swasta sedang lesu karena banyak PHK," ujar Bhima.
Bhima menyoroti sejumlah faktor yang memicu penundaan pengangkatan CPNS ini. Yang pertama adalah menurunnya anggaran pemerintah dalam bentuk tunai akibat rendahnya penerimaan pajak.
"Anggaran pemerintah dalam bentuk cash atau tunai mulai menurun tajam, terutama akibat sistem administrasi perpajakan dan rendahnya penerimaan pajak tahun ini. Jadi belanja pegawainya dihemat," ujar Bhima.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Reformasi dan Birokrasi (Menpan-RB) Rini Widyantini sudah menyanggah bahwa pengunduran pengangkatan CPNS ini terkait efisiensi anggaran, Rizky tetap menduga faktor ini menjadi alasan utama keputusan pemerintah ini.
Selain pengunduran jadwal pengangkatan CPNS, pemerintah juga memutuskan untuk mengundurkan jadwal pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) pada 1 Maret 2026.
Padahal, sesuai surat edaran BKN sebelumnya, mereka yang lolos PPPK 2024 tahap 1 dijadwalkan diangkat pada Februari 2025, sementara tahap 2 pada Juli 2025.
Terpisah, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian PAN-RB, Aba Subagja, mengatakan keputusan ni merupakan kesepakatan pemerintah dan DPR. Aba meminta peserta seleksi yang telah dinyatakan lulus tidak khawatir dengan adanya penundaan ini.
Meski demikian, Aba mengaku pihaknya memahami kekhawatiran calon ASN yang yang sudah telanjur mundur dari pekerjaan sebelumnya.
Menurut Aba, penundaan jadwal pengangkatan justru dapat memberi waktu kepada para calon ASN beradaptasi sebelum memasuki pemerintahan.
"Kami memaklumi kondisi ini, apalagi bagi mereka yang sudah berkeluarga. Namun, waktu ini bisa digunakan untuk belajar dan memahami budaya birokrasi, termasuk nilai-nilai ASN," ujarnya Aba.
(Dani Jumadil Akhir)