Untuk memperkuat neraca perdagangan pasca keputusan Trump, Kadin menyarankan supaya negosiasi perdagangan dilakukan lebih selektif. Fokus bisa di lakukan kepada industri padat karya terdampak secara vertikal, hulu hingga hilir.
"Selain itu, Indonesia perlu membuka pasar baru selain Asia Pasifik dan ASEAN, yakni pasar Asia Tengah, Turki dan Eropa, sampai Afrika dan Amerika Latin," ujarnya.
Kadin juga melihat peluang Indonesia mempertahankan hubungan baik dengan AS sebagai mitra dagang. AS membutuhkan pasar peralatan pertahanan, pesawat terbang dan LNG.
"Kita bisa menegosiasikan hal ini dengan produk ekspor andalan Indonesia," ujarnya.
AS memberlakukan Inflation Reduction Act (IRA) atau UU Penurunan Inflasi yang bertujuan menurunkan inflasi di AS, mendorong transisi energi bersih melalui insentif besar-besaran terhadap kendaraan listrik (EV), energi terbarukan (solar, angin), dan industri baterai dan semikonduktor.
AS bisa memberikan subsidi terhadap impor produk olahan dari nikel dan mineral lainnya dari Indonesia sepanjang mineral itu diolah sesuai standar lingkungan dan ketenagakerjaan.
"Hal ini dimungkinkan oleh critical minerals agreements dengan AS,"ujarnya.
Selain itu, lanjut Anindya, kebijakan Presiden Trump juga berdampak pada pergerakan dana investasi, baik investasi portofilio maupun foreign direct investment (FDI) atau investasi langsung.
Karena itu, penting sekali upaya Indonesia menarik investasi, di antaranya lewat pembuatan special economic zone yang dikhususkan untuk AS dengan aliansinya. Kawasan ekonomi khusus (KEK) itu sangat penting untuk menarik relokasi industri dari China.
"Dampak negatif kebijakan Presiden Trump perlu dihitung dengan cermat. Penurunan ekspor alas kaki, pakaian, dan produk elektronik Indonesia ke AS akan berdampak pada ketenagakerjaan. Kadin mengimbau agar pemerintah dan pelaku usaha bersama-sama mencegah PHK," ujarnya.
(Taufik Fajar)