JAKARTA - Pemerintah terus menyalurkan Bantuan Sosial (Bansos) melalui Program Keluarga Harapan (PKH). Hingga saat ini, total bantuan yang telah dicairkan mencapai Rp7,3 triliun kepada sekitar 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) di seluruh Indonesia.
Program ini tak hanya memberikan bantuan tunai, tetapi juga mendorong kemandirian ekonomi. Terbukti, sebanyak 500 penerima PKH yang telah dinyatakan mandiri atau "naik kelas" mengikuti prosesi wisuda di Universitas Brawijaya, Malang—sebuah simbol keberhasilan mereka dalam keluar dari ketergantungan terhadap bansos.
Berikut ini beberapa fakta menarik seputar penyaluran Bansos PKH dan program bantuan lainnya yang diberikan pemerintah kepada masyarakat kurang mampu, dirangkum oleh Okezone, Minggu (4/5/2025):
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi belanja bantuan sosial (bansos) hingga 31 Maret 2025 telah mencapai Rp38,9 triliun, atau sekitar 28,8% dari anggaran yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Belanja bantuan sosial hingga akhir Maret telah dibelanjakan Rp38,9 triliun, yang merupakan 28,8% dari APBN,” kata Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara.
Pada Februari 2025, total belanja bansos tercatat sebesar Rp25,9 triliun, sehingga realisasi pada Maret 2025 tercatat meningkat sebesar Rp13 triliun.
- Program Keluarga Harapan (PKH): Rp7,3 triliun untuk 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM).
- Kartu Sembako: Rp11 triliun untuk 18,3 juta KPM.
- Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN): Rp11,6 triliun untuk 96,7 juta jiwa.
- Program Indonesia Pintar (PIP): Rp1,5 triliun untuk 2,8 juta pelajar.
- Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah: Rp6,7 triliun untuk 794 ribu mahasiswa.
- Asistensi Sosial: Rp800 miliar untuk bantuan sosial bagi lansia, anak-anak, penyandang disabilitas, dan korban bencana.
"Seluruh realisasi belanja bantuan sosial ini telah disalurkan tepat waktu dan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan," ujar Suahasil.
Sebanyak 500 penerima bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) dari berbagai daerah di Jawa Timur mengikuti prosesi wisuda simbolik di Universitas Brawijaya (UB), hari ini. Wisuda digelar sebagai bentuk apresiasi bagi para penerima manfaat yang telah berhasil mandiri dan tidak lagi bergantung pada bantuan sosial.
Para wisudawan berasal dari latar belakang profesi yang beragam, seperti tukang kayu, tukang sayur, pedagang kelontong, hingga tukang bakso. Dalam prosesi tersebut, mereka mengenakan toga dan perlengkapan wisuda layaknya mahasiswa kampus ternama.
Penerima manfaat yang diwisuda berasal dari berbagai wilayah, seperti Kabupaten Probolinggo, Kota Pasuruan, Kota Kediri, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Malang, dan Kota Malang.
Salah satu peserta wisuda, Juwarti (48 tahun), warga Kabupaten Probolinggo, mengungkapkan rasa syukurnya karena berhasil menjadi mandiri melalui usaha toko kelontong yang menjual gas dan air galon.
“Alhamdulillah, terima kasih sekali sudah dibiayai dan dibimbing sampai akhirnya bisa mandiri. Dulu saya terima bantuan tunai tiap tiga bulan karena usaha saya masih kecil,” ujarnya.
Juwarti mengungkapkan bahwa ia mendapatkan bantuan modal sebesar Rp5 juta serta pelatihan usaha selama satu tahun terakhir.
Sementara itu, penerima manfaat lain, Amaliyah, seorang tukang kayu, juga merasa bangga bisa “mentas” dari status penerima bansos. Ia bahkan menerima pesanan kursi langsung dari Menteri Sosial.
“Tukang kayu profesinya, bisa gergaji, buat kursi. Saya senang karena dipercaya langsung,” katanya saat berbincang dengan Menteri Sosial.
Menteri Sosial Syaifullah Yusuf, atau yang akrab disapa Gus Ipul, menyampaikan apresiasinya kepada Universitas Brawijaya atas dukungan dalam menyelenggarakan wisuda ini.
“Terima kasih kepada Pak Rektor, ini luar biasa. Tukang sayur, tukang bakso, bahkan lulusan SD bisa diwisuda di kampus ternama. Ini bukti bahwa semua orang bisa naik kelas,” ujarnya dalam sambutan.
Gus Ipul menekankan pentingnya mendorong kemandirian bagi penerima bansos yang masih berusia produktif dan memiliki fungsi sosial yang normal. Ia menegaskan bahwa bansos bukanlah sesuatu yang seharusnya diterima seumur hidup.
“Kita tidak ingin setiap bulan terus menerima bansos. Itu justru bisa menurunkan semangat. Penerima usia produktif harus punya target mandiri. Bansos itu bukan untuk beli rokok,” tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya evaluasi berkala, mengingat masih ada warga yang menerima bansos selama lebih dari satu dekade.
“Kalau ada yang menerima lebih dari 10 bahkan 15 tahun, itu artinya sudah menikmati. Ini harus kita evaluasi,” tutupnya.
(Feby Novalius)