JAKARTA - Alasan munculnya desakan moratorium kenaikan tarif cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT). Pemerintah diminta untuk memberlakukan moratorium kenaikan tarif rokok.
Kenaikan tarif cukai rokok yang terus-menerus dinilai menggerus daya saing industri dan memperbesar risiko Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
1. Dampak Kenaikan Tarif Cukai Rokok
Ketua Umum FSP RTMM-SPSI Sudarto menilai bahwa kondisi ekonomi saat ini tidak mendukung kenaikan cukai. Dia menyebutkan bahwa kenaikan tarif justru memperparah kondisi pekerja dan memperbesar risiko PHK.
"Moratorium (kenaikan CHT) saya sangat setuju. Karena ekonomi sedang tidak baik-baik saja. PHK besar-besaran. Dampaknya ke pekerjanya ya penghasilan turun," katanya di Jakarta, Minggu (1/6/2025).
2. Sektor IHT Penyumbang Penerimaan Negara
Ketua PUK RTMM PT Djarum Kudus Ali Muslikin juga menolak kenaikan tarif cukai tahunan. Dia menilai bahwa beban fiskal yang terus meningkat akan mempercepat penurunan produksi dan memperbesar ancaman PHK massal.
"Harapannya kami di tahun ke depan tidak ada kenaikan tarif cukai," paparnya.
Gelombang PHK tengah menjadi momok tenaga kerja menyusul rontoknya beberapa industri padat karya. Data resmi BPS menunjukkan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia meningkat. Pada Februari 2025, jumlah pengangguran mencapai 7,28 juta orang, naik 83 ribu orang dari periode yang sama di tahun sebelumnya.
Ali juga mengingatkan bahwa sektor IHT merupakan penyumbang besar bagi penerimaan negara. “Kami di IHT turut menyumbang Rp240 triliun setoran ke negara. Itu hampir 10 persen dari APBN. Kalau industri semakin dicekik dengan berbagai aturan, saya tidak tahu negara akan dapat pendapatan dari mana?” pungkasnya.
Bupati Kudus Sam’ani Intakoris menyatakan dukungan penuh terhadap moratorium kenaikan CHT tersebut. “ Kami juga mendukung tidak ada kenaikan cukai (hasil tembakau),” ujarnya.
Dia juga menekankan pentingnya pemberantasan rokok ilegal yang semakin marak dan merugikan industri legal serta penerimaan negara.
3. Regulasi Aturan
Sementaraa itu, penolakan terhadap pasal-pasal tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terus menguat. Sudarto bahkan menyarankan agar pasal-pasal tembakau dalam PP 28/2024 dibatalkan jika terbukti menghambat upaya penyelamatan industri padat karya.
“Proses deregulasi PP 28/2024 menurut saya wajar perlu disempurnakan, kalau perlu dibatalkan," tegasnya.
Dia menyoroti sejumlah ketentuan dalam PP 28/2024 yang dinilai membatasi ruang gerak IHT, seperti pembatasan iklan dan penjualan rokok, serta rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (plain packaging) dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Menurutnya, kebijakan ini akan menghambat penyerapan produk tembakau petani dan memicu efisiensi tenaga kerja yang berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Saya sebagai Ketua PUK RTMM PT Djarum Kudus sangat tidak setuju dengan (pasal-pasal tembakau dalam) PP 28/2024 karena ini dapat menyengsarakan pekerja rokok,” tambah Ali.
Ali menambahkan bahwa pembatasan yang diatur dalam PP 28/2024 dapat menurunkan penjualan dan memicu gelombang PHK. Dia juga mengungkapkan bahwa para buruh telah melakukan aksi unjuk rasa ke Kementerian Kesehatan sebagai bentuk penolakan terhadap regulasi ini pada bulan Oktober lalu. Pada puncak aksi unjuk rasa, perwakilan Kementerian Kesehatan berjanji akan melibatkan serikat pekerja dalam proses penyusunan dan diskusi sejumlah aturan turunan PP 28/2024, namun hingga kini hal tersebut belum terealisasi.
(Dani Jumadil Akhir)