JAKARTA - DPR RI mendukung penghentian sementara operasional tambang PT Gag Nikel di Raja Ampat. Keputusan tersebut mencerminkan keberpihakan pada prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan, serta respons terhadap aspirasi masyarakat dan kelompok lingkungan hidup.
“Langkah itu patut dihargai. Pemerintah menunjukkan keseriusan menata sektor ini dengan tetap mendengarkan suara rakyat. Tapi kita juga harus waspada, karena ada framing yang sengaja diarahkan untuk membelokkan arah kebijakan nasional,” ujar Anggota Komisi XII DPR RI Rusli Habibie, Senin (9/6/2025).
Dirinya menyoroti, percepatan pembangunan nasional yang tengah dijalankan pemerintah tidak boleh terganggu. Evaluasi terhadap tambang di Raja Ampat, penting dilakukan secara objektif dan profesional, namun tidak boleh dijadikan dalih untuk melemahkan semangat reformasi tata kelola sumber daya.
“Munculnya isu ini bisa jadi merupakan bentuk reaksi dari kelompok yang tidak puas terhadap kebijakan-kebijakan Kementerian ESDM, khususnya soal penguatan penerimaan negara dari sektor pertambangan. Jangan sampai kita ikut dalam permainan yang tujuannya hanya untuk menjatuhkan,” ujar Rusli.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat terdapat lima perusahaan tambang yang memiliki izin resmi untuk beroperasi di wilayah Raja Ampat.
1. PT Gag Nikel dengan izin Operasi Produksi sejak tahun 2017 (izin dari pemerintah pusat).
2. PT Anugerah Surya Pratama (ASP) dengan izin Operasi Produksi sejak tahun 2013 (izin dari pemerintah pusat)
3. PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) dengan IUP diterbitkan pada tahun 2013 (izin dari Pemerintah Daerah, Bupati Raja Ampat.
4. PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) dengan IUP diterbitkan pada tahun 2013 (izin dari Pemerintah Daerah)
5. PT Nurham dengan IUP diterbitkan pada tahun 2025 (izin dari Pemerintah Daerah)
Kementerian ESDM menegaskan seluruh kegiatan pertambangan di Raja Ampat diawasi secara ketat dan transparan. Pengawasan mencakup aspek legalitas, perlindungan lingkungan, serta kepatuhan terhadap kawasan konservasi dan hutan lindung.
Evaluasi juga dilakukan sesuai Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang mewajibkan reklamasi dilakukan dengan mempertimbangkan manfaat teknis, lingkungan, dan sosial.
(Feby Novalius)