Sejarah membuktikan bahwa konflik bisa menyebabkan lonjakan besar harga minyak. Misalnya, harga minyak mentah Brent melonjak dua kali lipat hingga mencapai USD40 per barel pada pertengahan Oktober saat Irak menyerang Kuwait pada Agustus 1991.
Namun kekhawatiran pasar segera mereda. Harga minyak kembali turun ke level normal dalam beberapa bulan setelah koalisi pimpinan AS meluncurkan Operasi Badai Gurun. Koalisi ini berhasil membebaskan Kuwait pada Februari 1992.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa krisis geopolitik bisa mengguncang pasar energi, tetapi tidak selalu berdampak jangka panjang terhadap pasokan global.
Perang Teluk Kedua (2003) juga menyebabkan harga minyak sempat naik 46% menjelang serangan AS ke Irak, lalu turun saat perang dimulai.
Di peristiwa lain, serangan Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 membuat harga minyak melonjak ke USD130 per barel, lalu kembali turun ke USD95 dalam beberapa bulan.
Menurut analisis PVM, Tamas Varga, pemulihan harga berlangsung cepat karena kapasitas produksi global yang masih tersedia. Kenaikan harga yang tajam juga menurunkan permintaan.
Pasar minyak dunia juga pernah terganggu saat embargo minyak Arab 1973 dan Revolusi Iran 1979, meskipun saat itu tidak melibatkan penutupan Selat Hormuz atau aksi militer langsung dari AS.
Iran memang memiliki kekuatan untuk mengganggu Selat Hormuz, tetapi mereka tidak mungkin menutupnya secara total.
Selat Hormuz juga penting bagi ekspor minyak Iran sendiri, sehingga penutupan total akan merugikan mereka.
Iran menilai memicu konflik besar bukan strategi yang menguntungkan, terutama jika melibatkan AS secara langsung. Ada kemungkinan Teheran lebih memilih meredam konflik dan kembali ke jalur diplomasi, termasuk perundingan nuklir.
(Feby Novalius)